Elshinta.com - Muhammadiyah didirikan oleh seorang kyai bernama Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Kata “Muhammadiyah” dimaknai pengikut Nabi Muhammad.
Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai melakukan pembaruan di Tanah Air, setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Selain ulama kondang pembaruan muncul setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan.
Kyai Dahlan mengajar agama secara ekstrakulikuler. ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta.
Pada 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah.
Pada AD tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”
Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah.
Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan. (http://suara-muhammadiyah.com)