Elshinta.com - Tragedi Kanigoro menjadi salah satu bukti kejinya Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada umat Islam.
13 Januari 1965 saat itu bulan Ramadhan. Kejadian berlangsung subuh sekitar pukul 04.30 tak berapa lama setelah saur. Di bukunya Teror Subuh di Kanigoro (1995) yang ditulis Anis Abiyoso bareng Yosi Herfanda menyebut,
“Karena agak kelelahan, saya dan beberapa teman bersembahyang di asrama. Dingin udara dan air wudhu yang menggigilkan tubuh tak mengurangi kekhusyukan salat kami”.
Namun kekusyukan itu buyar dengan datangnya para perusuh. Anis juga ingat ada suara tembakan. “Ketika saya sedang dalam posisi duduk tasyahud, tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras. Pintu kamar saya didobrak, diiringi teiakan-teriakan 'Bunuuuh! Bunuuuh! Ganyang!'
Saya membaca shalawat dan salam. Salat selesai, sebuah tendangan menghantam punggung saya,” kata Anis.
“Bangun, ayo! Bangun!” teriak penggeruduk. Mereka berpakaian lusuh dan bersenjata tajam. Anis melihat gerombolan penggeruduk masjid tanpa lepas alas kaki. Sepatu-sepatu dan sandal-sandal, juga kaki-kaki telanjang mereka kotor.
Sekitar seribu massa PKI menyerbu dengan membawa sejata. Sebagian mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke dalam karung. "Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi pada Tempo.
Dalam catatan Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (2009: 129), yang dirilis Pusat Sejarah TNI (Pusjarah), disebut jumlah penggeruduk adalah 2000 orang. Jumlah yang banyak hanya untuk membubarkan ratusan pelajar. Apalagi dengan membawa senjata tajam.
Massa PKI lalu mengikat dan menggiring sekitar 98 orang ke kantor polisi, termasuk K.H. Jauhari pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.
Dari tempat kejadian ke kantor polisi berjarak 7 km. Ribuan orang menyaksikan penggiringan itu. Masdoeqi mengisahkan, di sepanjang perjalanan, massa PKI mencaci maki dan mengancam akan membunuh. Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya.
Meski tak ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro menimbulkan kemarahan dan trauma di kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri, yang sebagian besar santri pesantren.
Kiai Idris Marzuki, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo mengakui permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung lama. "Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak," katanya.
Kubu NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap kegiatan publik. Misalnya ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus, rombongan PKI dan rombongan NU saling ejek bahkan sampai melibatkan simpatisan kedua kelompok.
Desa Kanigoro terletak di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, 16 km dari pusat kota. Pada 1960-an menurut Sari Emingahayu dalam Sisi Senyap Politik Bising (2007: 84-86), “Kanigoro terkenal sebagai basis PKI.” Kawasan ini penghasil tebu untuk Pabrik Gula Ngadirejo. Buruh tani di sana kebanyakan berafiliasi dengan Barisan Tani Indonesia (BTI).
(dari berbagai sumber; tirto.id, tempo.co)