Fahri Bachmid: Putusan MK jadi pedoman reformasi Polri

Fahri Bachmid mendorong pemerintah siapkan aturan transisi jabatan Polri menyusul putusan MK. Aturan baru diperlukan untuk minimalisir gejolak tata kelola.

Update: 2025-11-15 07:07 GMT

Elshinta/ ADP

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 merupakan pedoman konstitusional penting (constitutional guidelines) yang wajib diadopsi dalam proses amandemen UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).

Fahri menyebut bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

“Putusan MK bersifat final and binding. Artinya, sejak diucapkan, putusan ini langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak dapat ditempuh upaya hukum lain. Karena itu, wajib ditindaklanjuti,” ujar Fahri kepada media Sabtu, (15/11/2025)

Fahri menjelaskan bahwa putusan MK tersebut memiliki karakter prospektif, yakni berlaku ke depan, kecuali dalam kasus tertentu MK bisa menerapkan putusan secara retroaktif untuk alasan keadilan.

“Putusan MK dalam Perkara 114/PUU-XXIII/2025 ini merupakan bagian dari ius constitutum atau hukum positif baru. Karena itu, kaidah hukum yang ditetapkan MK harus diadopsi dalam sistem hukum nasional—all law is judge-made law,” jelasnya.

*Pemerintah Diimbau Siapkan Aturan Transisi Jabatan Anggota Polri*

Fahri menyebut Salah satu poin penting yang disorot yaknipp keberadaan anggota Polri yang saat ini masih aktif namun sedang menjabat sebagai pejabat sipil strategis di pemerintahan.

Menurutnya, diperlukan instrumen kebijakan baru berupa legal policy atau legal rules sebagai panduan transisi agar tidak menimbulkan gejolak tata kelola pemerintahan.

“Pemerintah harus memikirkan aturan transisi terhadap anggota Polri aktif yang menduduki jabatan publik existing. Prinsip konstitusional dari putusan MK harus dipedomani, namun di sisi lain dampak kompleksitas pemerintahan harus diminimalkan agar tetap tercipta ketertiban hukum,” ujarnya

*MK Tegaskan: Jabatan Non-Polisi Hanya Dapat Diisi Setelah Mengundurkan Diri atau Pensiun*

Fahri menguraikan bahwa MK telah menegaskan kembali ketentuan yang bersumber dari Pasal 10 ayat (3) Tap MPR VII/2000 dan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yaitu:

Anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas. Ia menekankan bahwa rumusan norma tersebut bersifat expressis verbis, jelas, dan tidak membutuhkan tafsir tambahan.

“Jabatan yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun adalah jabatan yang tidak memiliki sangkut-paut dengan tugas kepolisian. MK sudah sangat eksplisit menyampaikannya,” kata Fahri.

Kemudian, Fahri menilai pertimbangan MK selaras dengan desain konstitusional terkait fungsi Polri sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”

Ia menegaskan bahwa penempatan Polri dalam jabatan sipil yang tidak terkait fungsi kepolisian berpotensi menyimpang dari mandat konstitusi.

Selain itu, dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata), Polri bersama TNI merupakan kekuatan utama negara dalam menjaga keamanan nasional, sehingga fungsi keduanya harus dijaga sesuai bingkai konstitusi.

*Rekomendasi untuk Tim Reformasi Polri*

Pada akhirnya, Fahri meminta agar Tim Reformasi Polri menjadikan putusan MK ini sebagai referensi utama dalam menyusun rencana amandemen UU Polri ke depan.

“Ini adalah mandat konstitusional yang tidak bisa dielakkan. Putusan MK menjadi constitutional guide bagi reformasi Polri dan harus diakomodir sebagai dasar kebijakan,” pungkasnya.

(Arie Dwi Prrasetyo)

Tags:    

Similar News