Indonesia andalkan wisata halal sebagai soft power baru

Update: 2025-10-07 06:20 GMT

Ilustrasi - Wisatawan sedang berswafoto di salah satu objek wisata di Aceh Besar (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat wisata halal dan spiritual global. Populasi Muslim yang besar, kekayaan tradisi, keragaman budaya, serta nilai-nilai religius masyarakatnya menjadikan Indonesia menggenggam modal kuat untuk memimpin sektor ini di tingkat global.

Dalam beberapa tahun terakhir, wisata halal berkembang menjadi salah satu segmen pariwisata dengan pertumbuhan paling pesat di dunia. Berdasarkan laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) 2025, jumlah wisatawan Muslim internasional mencapai sekitar 176 juta pada tahun 2024 dan diproyeksikan terus meningkat. Nilai pasar global wisata Muslim diperkirakan mencapai lebih dari 230 miliar dolar AS pada 2030.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam pengembangan wisata halal dan spiritual. Selain memiliki populasi Muslim terbesar di dunia dan kekayaan budaya yang beragam, Indonesia kini juga memiliki landasan hukum yang lebih kuat menyusul disahkannya rancangan undang-undang (RUU) Kepariwisataan menjadi undang-undang (UU).

UU tersebut turut mempertegas pentingnya penyelenggaraan pariwisata yang menjunjung tinggi norma agama, nilai budaya, serta keberlanjutan lingkungan, yang menjadi fondasi penting bagi tumbuhnya ekosistem wisata halal di Tanah Air.

Sudah barang tentu, momentum hadirnya UU Kepariwisataan baru ini menjadi tonggak dalam memperkuat arah pembangunan destinasi wisata yang berkarakter, beretika, dan berkelanjutan. Melalui prinsip penghormatan terhadap norma agama dan nilai budaya, pariwisata halal dapat dikembangkan secara lebih terarah, tanpa harus memisahkan diri dari kekayaan tradisi dan spiritualitas lokal.

Dengan demikian, konsep halal tidak hanya dipahami sebatas sertifikasi produk atau layanan, tetapi juga sebagai pengalaman wisata yang menyentuh nilai-nilai religius dan kemanusiaan.

Untuk mewujudkan hal itu, peran masyarakat lokal menjadi sangat penting. Pendekatan berbasis komunitas memastikan bahwa warga sekitar destinasi wisata tidak sekadar menjadi penonton, tetapi juga pelaku utama dalam ekosistem pariwisata halal. Mereka dapat berkontribusi sebagai penyedia akomodasi dan kuliner halal, pengrajin produk lokal, hingga pemandu wisata yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius dan kearifan budaya setempat.

Dengan keterlibatan aktif masyarakat, pariwisata halal di Indonesia diharapkan dapat tumbuh sebagai gerakan bersama yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal sekaligus berdaya saing global.

Instrumen soft power

Menurut teori soft power yang diperkenalkan Joseph Nye, kekuatan suatu negara tidak lagi hanya bergantung pada aspek militer dan ekonomi, melainkan juga pada kemampuannya mempengaruhi dunia melalui budaya, nilai, dan institusi.

Dalam konteks ini, wisata halal dan spiritual dapat menjadi instrumen soft power Indonesia di dunia Muslim, yang turut memperkuat citra sebagai negara moderat dan religius yang ramah serta terbuka. Dengan begitu, pariwisata halal diharapkan pula menciptakan jejaring hubungan antarnegara yang halus namun efektif, mempererat kerja sama, dan saling pengertian antarbangsa.

Indonesia memiliki beragam destinasi religi yang potensial, mulai dari masjid-masjid bersejarah, makam para wali, hingga tradisi keagamaan lokal seperti Maulid Nabi, Idul Adha, maupun tradisi keagamaan lainnya. Semua ini bisa dikemas dalam paket wisata yang menarik, memadukan ziarah, budaya, dan spiritualitas.

Sejumlah daerah di Indonesia, seperti Aceh, Sumatra Barat, Lombok, Yogyakarta, Jawa Barat, dan Banten memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan wisata halal dan spiritual, berkat dukungan infrastruktur yang memadai dan kekayaan budaya lokalnya.

Namun, pengembangan wisata halal dan spiritual perlu pula selaras dengan prinsip keberlanjutan. Aktivitas wisata massal dan masif tanpa pengaturan dapat merusak lingkungan dan menurunkan nilai-nilai budaya lokal. Karena itu, penerapan UU Kepariwisataan memegang peranan penting dalam menuntun arah pembangunan pariwisata agar tumbuh seimbang secara ekonomi, sosial, dan ekologis.

Aktivitas wisata halal sejatinya bukan hanya soal makanan dan akomodasi. Retret spiritual, kajian keislaman, hingga pengalaman budaya lokal dapat menjadi nilai tambah yang membedakan Indonesia dari destinasi lain. Integrasi wisata halal dengan ekowisata dan konservasi budaya bahkan dapat memperkaya pengalaman wisatawan di mana pengajaran dan pemahaman nilai-nilai religiusitas selaras dengan pelestarian alam dan harmoni kehidupan.

Pada saat yang sama, penguatan jejaring antar-destinasi menjadi hal penting agar wisatawan mendapatkan pengalaman yang holistik. Paket perjalanan lintas daerah, seperti ziarah wali, belajar kuliner halal, dan eksplorasi seni Islam Nusantara, dapat dirancang secara terpadu.

Dalam konteks penguatan jejaring tersebut, dukungan teknologi juga sangat menentukan. Platform daring dapat mempromosikan destinasi halal Indonesia, menyediakan informasi akurat, serta memudahkan pemesanan layanan halal dan spiritual.

Peran masyarakat lokal

Keterlibatan masyarakat lokal menjadi salah satu elemen kunci keberhasilan wisata halal. Mereka bukan hanya penyedia layanan, melainkan penjaga nilai-nilai budaya dan spiritual di tiap destinasi. Partisipasi aktif warga memperkuat otentisitas dan kredibilitas pengalaman wisata halal Indonesia di mata dunia.

Selain memberi manfaat ekonomi, strategi ini juga mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif. Para pengrajin, seniman, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat menciptakan produk khas yang sesuai prinsip halal sekaligus menampilkan identitas budaya daerah. Dengan begitu, wisata halal tak hanya melulu terfokus pada sektor ekonomi, tetapi juga sebagai sarana pemberdayaan masyarakat dan pelestarian tradisi.

Lebih jauh, dalam konteks hubungan internasional, wisata halal berpotensi menjadi sarana diplomasi budaya lintas negara. Wisatawan yang terkesan dengan layanan dan keramahan Indonesia akan menjadi duta tak resmi yang memperkuat citra positif bangsa di dunia Muslim.

Tentu saja, pemerintah perlu memastikan standar halal dan kualitas layanan dijaga secara konsisten. Sertifikasi halal, pelatihan sumber daya manusia, serta regulasi yang tegas harus diterapkan agar reputasi destinasi wisata halal tetap tinggi. Di sisi lain, keberlanjutan lingkungan dan pelestarian budaya harus menjadi bagian dari setiap kebijakan pengembangan wisata halal.

Keunggulan strategis

Dalam pengembangan wisata halal, secara geografis, Indonesia memiliki keunggulan strategis lantaran terletak di jalur penerbangan internasional dan berdekatan dengan kawasan-kawasan berpenduduk Muslim besar seperti Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Kondisi ini memudahkan akses bagi wisatawan Muslim dari berbagai negara seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Pakistan, hingga Bangladesh.

Dengan promosi yang efektif, -- menekankan aspek keamanan, kenyamanan, serta pengalaman spiritual -- Indonesia berpeluang besar menarik wisatawan Muslim global. Pemanfaatan media digital dan kolaborasi dengan influencer Muslim internasional bisa menjadi langkah penting. Konten kreatif yang menampilkan keindahan alam, tradisi religius, serta keramahan masyarakat Indonesia akan memperluas jangkauan promosi destinasi halal dan spiritual ke pasar mondial.

Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha menjadi prasyarat utama agar wisata halal berkembang secara berkelanjutan. Kolaborasi yang kuat akan memperkuat daya saing Indonesia di pasar global sekaligus memastikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya dapat dirasakan secara merata.

Pada akhirnya, pengembangan wisata halal dan spiritual bukan semata strategi ekonomi, melainkan juga upaya memperkuat identitas Indonesia sebagai negara Muslim yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman.

Dengan fondasi hukum yang kuat melalui UU Kepariwisataan, Indonesia berpeluang besar menjadi pusat wisata halal dan spiritual dunia, yang memadukan kekuatan soft power, pembangunan manusia, keberlanjutan lingkungan, serta budaya dalam satu kesatuan yang harmonis dan utuh.

*) Djoko Subinarto, kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran

Similar News