Mendagri Tito: Beras peredam inflasi Nasional
Foto : Humas Kementerian Pertanian RI
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan apresiasi atas kinerja positif sektor pertanian yang berkontribusi besar terhadap pengendalian inflasi nasional. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), harga beras nasional mengalami penurunan (deflasi) pada Oktober 2025 dan berperan penting sebagai peredam inflasi nasional.
“Alhamdulillah, beras menjadi peredam inflasi bulan ini. Ini menunjukkan kinerja positif dari seluruh pihak, terutama sektor pangan, dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan,” kata Tito dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi di Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, Selasa (4/11).
Menurut Tito, tekanan inflasi global masih tinggi akibat naiknya harga emas dunia hingga lebih dari 40 persen karena situasi geopolitik global. Namun, di dalam negeri, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah berhasil menjaga kestabilan harga bahan pokok.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan, dari 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 23 provinsi mencatat deflasi beras, 3 provinsi stabil, dan hanya 12 provinsi mengalami inflasi. Kondisi ini menunjukkan pasokan beras nasional relatif terjaga dengan baik.
“Tren ini menandai perbaikan signifikan, di mana secara historis, dalam lima tahun terakhir, beras mengalami inflasi pada Oktober 2022 dan 2023, sedangkan pada Oktober 2021, 2024, dan 2025 mengalami deflasi,” jelas Amalia.
Secara umum, inflasi Oktober 2025 berada di level 0,28 persen dengan inflasi tahunan sebesar 2,86 persen, masih dalam kisaran aman. Menariknya, sektor pangan justru menjadi penyumbang penurunan tekanan inflasi, di saat komoditas lain seperti emas perhiasan mengalami kenaikan harga.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut, capaian positif sektor pangan tidak lepas dari kerja keras berbagai pihak dan kebijakan strategis pemerintah. Berdasarkan data BPS, produksi beras nasional naik 4,15 juta ton — tertinggi sejak 2009.
“Alhamdulillah, berkat gagasan besar Bapak Presiden dan kerja sama semua pihak, termasuk para petani, produksi beras meningkat signifikan. Ini juga sudah diprediksi oleh FAO bahwa Indonesia akan tumbuh kuat di sektor pangan,” ungkap Amran.
Amran menyoroti adanya permainan harga di beberapa daerah, terutama pada komoditas cabai, ayam, dan telur. Ia menemukan sejumlah perusahaan menjual beras kualitas rendah dengan label premium, yang menyebabkan harga di tingkat konsumen tidak wajar.
“Kami menemukan beras kualitas rendah dijual sebagai beras premium, padahal tingkat pecahnya tinggi. Ini merugikan masyarakat karena harga yang seharusnya Rp12 ribu per kilogram dijual Rp17 ribu. Hal ini harus kita benahi bersama,” tegas Amran.
Untuk menjaga stabilitas harga, Kementerian Pertanian bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas), Bulog, dan Kementerian Perdagangan memperkuat posko pemantauan di 51 kabupaten yang mengalami kenaikan harga pangan.
“Kami sudah menurunkan tim untuk memantau harga dan pasokan. Sinergi lintas lembaga berjalan baik. Pemerintah berkomitmen menjaga harga tetap terjangkau dan stok mencukupi,” ujarnya.
Amran optimistis kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, dan aparat penegak hukum akan memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Insyaallah, dengan kerja sama lintas sektor, Indonesia akan semakin mandiri dan tangguh menghadapi tantangan pangan ke depan,” tutupnya.
Robby Hatibie