Pakar dorong pemerintah benahi utang BUMN PSBI

Update: 2025-11-19 02:50 GMT

Arsip foto - Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar/pri)

Sejumlah pakar menilai, pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk merestrukturisasi utang yang selama ini membebani badan usaha milik negara (BUMN) anggota konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).

Hal ini menyusul komitmen Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengambil alih utang proyek Kereta Cepat Whoosh Jakarta-Bandung.

Pengamat BUMN Toto Pranoto, sebagaimana keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, menilai bahwa akar persoalan terletak pada struktur proyek yang membuat PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI menanggung beban ganda yakni sebagai operator kereta sekaligus operator prasarana.

Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 sebenarnya memungkinkan pemisahan peran operator dan penyelenggara infrastruktur.

Menurut Toto, jika pemerintah menggunakan dana APBN, maka dana tersebut seharusnya diarahkan untuk membentuk BUMN baru yang secara khusus menyelenggarakan prasarana kereta api, sehingga beban biaya infrastruktur dapat dikeluarkan dari struktur biaya KAI.

"Langkah ini dinilai krusial untuk menjaga keberlanjutan keuangan BUMN-BUMN yang terlibat dalam PSBI," tegas dia.

Meskipun Presiden Prabowo menyatakan kondisi keuangan proyek telah dipelajari dan “tidak ada masalah”, para ahli menilai persoalan utang yang ditanggung KAI dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) tidak boleh diabaikan.

WIKA sendiri telah menggelontorkan modal konstruksi sekitar Rp5,9 triliun yang hingga saat ini belum dibayarkan, ditambah setoran modal Rp6,1 triliun, sehingga posisi keuangannya semakin tertekan.

Pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy lebih menekankan urgensi restrukturisasi utang secara menyeluruh.

Ia menilai masalah finansial tidak semestinya dibebankan hanya pada KAI dan WIKA, karena kedua perusahaan akan kesulitan menanggung bunga utang komersial yang mencapai Rp2 triliun per tahun, dengan total utang yang membengkak akibat cost overrun dan suku bunga sekitar 3,2 persen.

"Pemerintah harus segera melakukan langkah korektif berupa pengurangan pokok utang dan penurunan suku bunga menjadi di bawah 1 persen mengingat negara seperti Jepang mampu memberikan bunga serendah 0,1 persen pada proyek kereta cepat melalui skema government-to-government (G to G)," papar Budi.

Tanpa restrukturisasi, lanjut Budi, rasio utang WIKA yang sudah tinggi bisa terus memburuk, dan KAI berpotensi mengalami tekanan serupa.

Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Direktur Utama WIKA Agung Budi Waskito saat paparan publik beberapa waktu lalu.

Agung Budi mengungkapkan sejumlah tekanan yang muncul dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. WIKA sendiri berperan sebagai investor dengan kepemilikan sebesar 32 persen dengan penanaman modal Rp6,1 triliun.

“Sejak kereta cepat beroperasi, proyek ini mengalami kerugian karena pendapatan tiket masih belum sesuai dengan rencana awal. Dengan porsi kepemilikan Rp6,1 triliun, kami ikut membukukan kerugian,” ujar Agung dalam paparan publik pada Rabu (12/11).

Selain itu, WIKA juga masih dispute dengan KCIC terkait perannya sebagai kontraktor dalam pengerjaan Kereta Cepat senilai Rp5,9 Triliun, dan WIKA terancam menelan kerugian cukup besar jika tidak menemui penyelesaian.

Agung sendiri optimistis jika porsi investasi BUMN ini diambilalih oleh Pemerintah, maka akan berdampak positif bagi WIKA.

Tags:    

Similar News