W.R. Supratman: Pahlawan mewangi, bukan berdarah

Update: 2025-11-12 08:10 GMT

Sejumlah pelajar berziarah di makam pahlawan nasional WR Soepratman di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (9/3/2025). Ziarah dan tabur bunga di makam pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya tersebut merupakan rangkaian kegiatan memperingati Hari Musik Nasional. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Pada setiap tanggal 10 November, ingatan kolektif bangsa kita selalu tertuju pada getaran heroik Pertempuran Surabaya 1945, satu peristiwa yang menjadi simbol keberanian rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Sejarah mencatat heroik fisik, gemuruh senapan, dan lautan darah sebagai harga yang harus dibayar.

Di tengah narasi kepahlawanan yang lekat dengan seragam militer, kita sering melupakan kontribusi para pejuang sunyi yang menggunakan jalur kreativitas dan intelektual. Salah satu di antaranya adalah Wage Rudolf Supratman, seorang komponis, wartawan, dan pemikir yang berjuang dengan biola dan pena, di saat orang lain memilih bedil.

W.R. Supratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum proklamasi, namun ia meninggal dalam keyakinan total: "Saya yakin Indonesia pasti merdeka,” sebuah pengakuan yang ia sampaikan kepada saudaranya.

Keyakinan total ini tidak muncul dari kehampaan, melainkan dari sebuah kontribusi abadi yang ia tanamkan melalui berbagai karya seninya.

Mari kita perhatikan lirik puitis dari salah satu lagu karyanya, "Pahlawan Merdeka," yang secara radikal mengubah definisi heroik: "Pahlawan merdeka yang gugur sebagai bunga / Jatuh mewangi di atas pangkuan ibunda."

Supratman memilih diksi bunga dan mewangi, alih-alih darah dan senjata. Ini bukan hanya pilihan diksi, tetapi sebuah penegasan filosofis bahwa pengorbanan haruslah suci, indah, dan menghasilkan kebaikan.

Begitu pula lirik dalam lagu itu yang menyatakan bahwa para pejuang adalah "ratna yang pecah dan tersebar di bumi Indonesia."

Ratna atau permata yang tersebar ini adalah warisan yang tersebar di seluruh Nusantara. Mahakaryanya, "Indonesia Raya," adalah perwujudan literal dari kiasan ini, sebuah permata suara yang menyatukan seluruh hati nurani bangsa.

W.R. Supratman adalah pahlawan yang meninggalkan permata yang mewangi dan tersebar, jauh sebelum ia mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Warisan biola

W.R. Supratman telah meninggalkan kita semua dengan warisan biola Supratman, sebuah simbol perjuangan yang sangat konstruktif.

Warisan ini menggarisbawahi keyakinan bahwa jalur seni, jurnalisme, dan pengetahuan memiliki dampak yang jauh lebih luas dan mengakar dibandingkan pertempuran fisik.

Supratman menggunakan profesinya, seorang komponis, sebagai medan jihadnya. Ia berjuang dengan keahlian, sebuah pesan yang sangat relevan, saat ini, ketika kita menghadapi tantangan kompleks yang membutuhkan solusi intelektual.

Bahkan, pemerintah menegaskan bahwa perjuangan masa kini adalah melalui ilmu pengetahuan, kerja keras, dan pengabdian.

Supratman adalah teladan sempurna bagi generasi kini untuk menggunakan laptop, laboratorium, atau ruang kelas sebagai medan perjuangan kita, memastikan bahwa kita menghasilkan karya nyata.

Perjuangan melalui keahlian ini sejalan dengan deskripsi pahlawan dalam lirik "Pahlawan Merdeka" sebagai "Aji jaya sakti nan sejati." Kekuatan yang sejati bukan terletak pada kekerasan, melainkan pada keabadian dan kemurnian kontribusi --prinsip yang juga ditekankan oleh negara sebagai nilai yang harus diteladani.

Kritik terhadap peringatan Hari Pahlawan yang terlalu fokus pada aspek militer adalah bahwa ia mengaburkan kontribusi para pemikir dan seniman yang membangun fondasi ideologis bangsa.

Kita harus mengubah narasi, menempatkan Supratman di garda depan pahlawan yang tersebar melalui karya dan ilmu, meneladani keikhlasan, keberanian, dan pandangan jauh ke depan yang ia miliki. Ketiga nilai ini adalah modal utama untuk bergerak, bukan hanya mengenang.

Ratna yang tersebar

Lantas, bagaimana cara kita menjadikan semangat "Pahlawan Merdeka" tetap kontekstual di tengah tema Hari Pahlawan 2025: “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan”.

Solusinya adalah dengan mentransformasi tema kepahlawanan menjadi aksi profesionalisme yang berintegritas.

Menjadi ratna yang tersebar hari ini berarti menjadi profesional yang berintegritas dan berkontribusi secara nyata di bidang masing-masing.

Pertama, teladani integritasnya. Melanjutkan perjuangan adalah dengan melawan korupsi, memperjuangkan keadilan, dan memastikan prinsip-prinsip negara tegak.

Kedua, berjuang dengan keahlian. Supratman berjuang dengan musik; kita harus berjuang dengan keahlian kita, bisa menjadi petani yang inovatif, programmer yang menciptakan solusi digital, guru yang mencerdaskan, atau birokrat yang melayani rakyat dengan tulus. Ini adalah bentuk “Terus Bergerak” yang paling fundamental dan konstruktif.

Ketiga, ciptakan keabadian. Mirip dengan lagu "Pahlawan Merdeka" yang mengabadikan para pejuang, kita harus menciptakan karya, riset, atau sistem yang memberikan manfaat jangka panjang bagi bangsa, sebuah warisan yang mewangi dan tidak lekang dimakan waktu.

Semua uraian mengenai pengorbanan sunyi W.R. Supratman, keindahan filosofis lirik "Pahlawan Merdeka," serta pentingnya transformasi perjuangan ke jalur keahlian, akhirnya membawa kita pada satu kesimpulan mendasar.

Kontribusi Supratman, sang pahlawan biola, adalah cerminan sempurna dari tema Hari Pahlawan 2025.

Ia adalah teladan tertinggi bagi kita untuk menggunakan alat profesionalisme kita, baik berupa ilmu, skill, dan integritas, untuk terus bergerak dan melanjutkan perjuangan.

Lagu "Pahlawan Merdeka" adalah panggilan abadi yang menegaskan bahwa kepahlawanan sejati adalah kontribusi abadi dan solutif, sebuah aksi nyata yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.

*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati ekonomi kreatif dan saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR-RI

Similar News