Fortifikasi pangan untuk solusi anemia pada anak

Update: 2025-09-27 03:40 GMT

Siswa SD makan nasi yang telah diproses dengan inovasi terknologi beras fortifikasi di Universitas Jember, Jawa Timur, Kamis (17/10/2024). ANTARA FOTO/Seno/tom.

Fortifikasi pangan bisa menjadi salah satu terobosan dalam upaya menjaga kualitas hidup generasi mendatang.

Fortifikasi ini adalah upaya untuk menambahkan zat gizi esensial seperti vitamin dan mineral ke dalam makanan pokok (misalnya garam beryodium, tepung terigu dengan zat besi, susu dengan vitamin D) untuk mencegah kekurangan gizi dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara luas.

Di balik istilah yang terkesan teknis itu, fortifikasi sebenarnya menyimpan pesan sederhana untuk melengkapi pangan sehari-hari dengan zat gizi esensial agar masyarakat, khususnya anak-anak, terhindar dari kekurangan gizi yang berdampak panjang.

Zat besi adalah salah satu contohnya. Defisiensi zat besi masih menjadi masalah kesehatan global, dan dampaknya bukan hanya fisik tetapi juga mempengaruhi perilaku serta perkembangan otak anak.

Di sinilah fortifikasi pangan memainkan peran penting, karena tidak semua keluarga mampu menyediakan asupan zat besi dari makanan alami yang beragam setiap hari.

Fortifikasi pangan telah diterapkan di berbagai negara dan Indonesia dapat meniru keberhasilan negara lain seperti Costa Rica dan Chile yang sejak 1996 konsisten melakukan fortifikasi untuk mengatasi anemia defisiensi besi (ADB).

Hasilnya nyata, prevalensi ADB menurun dan kualitas hidup generasi muda meningkat. Indonesia tentu bisa belajar dari pengalaman tersebut, apalagi tantangan gizi di tanah air masih besar.

Fortifikasi bukan sekadar program teknis, tetapi bisa menjadi strategi nasional yang efektif untuk memutus mata rantai masalah gizi dan meningkatkan daya saing sumber daya manusia.

Salah satu bentuk fortifikasi yang banyak dijumpai adalah pada susu pertumbuhan. Produk ini tidak dimaksudkan sebagai pengganti ASI, melainkan sebagai pelengkap ketika anak sudah memasuki usia enam bulan dan mulai mendapat makanan pendamping.

Pada fase ini, kebutuhan zat besi meningkat pesat sehingga tidak lagi bisa dipenuhi dari ASI saja. Susu pertumbuhan yang difortifikasi dengan zat besi dapat membantu, terutama bagi anak-anak yang sulit menerima variasi sumber makanan kaya zat besi.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa susu hanyalah salah satu contoh dari beragam bentuk fortifikasi pangan. Ada juga fortifikasi pada tepung, garam, atau minyak goreng yang sama-sama punya peran strategis dalam meningkatkan kualitas gizi masyarakat luas.

Gerakan Tutup Mulut

Mengapa fortifikasi menjadi sangat penting? Karena kekurangan zat besi tidak hanya menyebabkan anemia, tetapi juga berhubungan dengan fenomena yang sering dikeluhkan orang tua, yaitu anak yang sulit makan atau dikenal dengan istilah Gerakan Tutup Mulut (GTM).

Kondisi ADB dapat mengganggu produksi hormon ghrelin atau hormon lapar yang berada di lambung. Ketika hormon ini terganggu, anak tidak merasakan sinyal lapar, sehingga nafsu makan berkurang drastis.

Banyak orang tua mungkin menyalahkan anak yang pilih-pilih makanan, padahal akar masalahnya bisa jadi adalah defisiensi zat besi.

Fortifikasi pangan hadir sebagai solusi yang konkret untuk mencegah masalah ini sejak awal, agar anak tetap memiliki selera makan yang sehat dan tumbuh optimal.

Fortifikasi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi pembangunan bangsa. Anak yang tumbuh dengan gizi baik akan memiliki konsentrasi, kemampuan belajar, dan produktivitas lebih tinggi di masa depan.

Bayangkan jika masalah anemia dibiarkan meluas, generasi muda akan tumbuh dengan keterbatasan kognitif dan kesehatan, yang tentu berdampak pada daya saing nasional. Oleh karena itu, fortifikasi bukan hanya persoalan kesehatan anak, tetapi juga strategi investasi sumber daya manusia.

Negara-negara yang berhasil mengurangi angka anemia melalui fortifikasi terbukti memiliki tenaga kerja yang lebih produktif dan mampu beradaptasi dengan tantangan global.

Tentu, fortifikasi pangan bukanlah solusi tunggal. Tetapi juga harus berjalan beriringan dengan edukasi gizi, perbaikan pola makan, dan akses terhadap bahan pangan bergizi yang terjangkau.

Namun, dalam kondisi di mana banyak keluarga masih kesulitan menyediakan asupan seimbang setiap hari, fortifikasi menjadi jaring pengaman yang penting.

Masyarakat perlu memahami bahwa pangan yang difortifikasi bukan sekadar produk industri, tetapi bagian dari strategi kesehatan masyarakat yang berbasis bukti ilmiah.

Orang tua memegang peran besar dalam keberhasilan strategi ini. Kesadaran untuk memilih pangan terfortifikasi, memberikan makanan pendamping ASI yang bervariasi, dan memperhatikan sinyal tubuh anak merupakan langkah awal yang sederhana namun berdampak besar.

Misalnya, ketika anak menunjukkan tanda sulit makan, orang tua bisa lebih waspada bahwa masalahnya mungkin terkait gizi, bukan sekadar perilaku. Dengan pemahaman ini, orang tua dapat mencari solusi yang tepat dan tidak terjebak dalam sikap menyalahkan anak.

Komoditas Pokok

Indonesia punya peluang besar untuk memperluas penerapan fortifikasi pangan. Selain pada susu pertumbuhan, fortifikasi bisa diperkuat pada komoditas pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat.

Bayangkan jika beras, tepung, atau minyak goreng yang dikonsumsi sehari-hari mengandung tambahan zat gizi penting, maka dampaknya akan meluas hingga ke pelosok tanpa memerlukan perubahan besar dalam kebiasaan makan masyarakat.

Inilah kekuatan fortifikasi yang bisa menyatu dalam kehidupan sehari-hari tanpa terasa, namun mampu mencegah masalah kesehatan serius yang sering tidak disadari.

Indonesia tidak boleh menunggu hingga masalah gizi menumpuk dan menimbulkan beban sosial-ekonomi yang lebih besar. Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati, dan fortifikasi pangan adalah wujud nyata dari prinsip pencegahan itu.

Di tengah kompleksitas persoalan gizi anak, fortifikasi bisa hadir sebagai jembatan yang menghubungkan ilmu pengetahuan, kebijakan publik, dan praktik sehari-hari dalam keluarga.

Dengan memahami pentingnya fortifikasi pangan, bangsa ini sesungguhnya sedang menyiapkan fondasi masa depan yang lebih sehat.

Anak-anak yang cukup zat besi bukan hanya terhindar dari anemia, tetapi juga lebih aktif, lebih semangat belajar, dan lebih siap menghadapi dunia.

Orang tua, tenaga kesehatan, dan pemerintah harus bergerak bersama agar fortifikasi pangan menjadi budaya baru untuk menjaga generasi.

Pesan yang lebih luas adalah mengupayakan setiap bentuk pangan agar bisa menjadi alat untuk melindungi anak-anak Indonesia dari kekurangan gizi.

Fortifikasi pangan bukan sekadar soal menambahkan zat besi atau vitamin dalam makanan, melainkan tentang bagaimana bangsa ini merawat generasi masa depannya.

Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman negara lain, keberhasilan mengatasi anemia melalui fortifikasi adalah bukti bahwa langkah kecil bisa menghasilkan perubahan besar.

Indonesia bisa mengambil jalan yang sama, dengan komitmen yang konsisten, agar anak-anak tumbuh sehat, berdaya, dan mampu menggapai potensi terbaik mereka sehingga Indonesia Emas 2045 bisa benar-benar terwujud.

*) Penulis adalah Dokter Spesialis Anak.

Similar News