Kematangan emosi bantu orang tua cegah kekerasan pada anak
Ilustrasi orang tua dan anak. (ANTARA/Pexels)
Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., menyampaikan bahwa kematangan emosi menjadi kunci kesiapan seseorang sebagai orang tua dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.
Novi menegaskan, kematangan emosional idealnya sudah terbentuk jauh sebelum seseorang menikah dan memiliki anak.
“Seseorang yang siap jadi orang tua itu harus mampu mengelola dan meregulasi emosinya dengan baik. Secara sosial, ia juga mampu berkomunikasi dalam berbagai situasi dan membangun relasi yang sehat,” kata Novi ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu.
Novi mengatakan, indikator psikologis seseorang siap menjadi orang tua dapat dilihat dari kematangan emosional, kognitif, dan sosial yang tecermin dalam perilaku sehari-hari.
Adapun kematangan emosional apabila seseorang memiliki kemampuan untuk mengelola respons emosinya secara stabil dan terukur.
Ia juga mengingatkan bahwa kemampuan mengelola emosi orang tua sangat berpengaruh terhadap risiko kekerasan pada anak, terutama pada usia 0–7 tahun.
Pada rentang usia tersebut, anak belajar secara bawah sadar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan dari orang-orang terdekat, khususnya orang tua.
Novi menyebut proses tersebut dikenal sebagai teori "social learning", di mana anak belajar meniru perilaku orang terdekat secara tidak sadar.
“Anak belajar mengenal emosi dan cara mengelolanya dari orang tuanya. Jika orang tua mampu mengelola emosi dengan baik, anak akan meniru hal yang sama, begitu pula sebaliknya,” ujarnya.
Selanjutnya secara kognitif, individu tersebut mampu berpikir seimbang antara rasional dan intuitif dalam mengambil keputusan serta mampu menghadapi persoalan secara kompleks.
Kemudian secara sosial, seseorang sudah mampu melakukan komunikasi dengan berbagai situasi dan kondisi sesuai konteks serta membangun relasi yang baik.
Lebih lanjut, ia menyebutkan tanda-tanda stres berat pada orang tua yang berpotensi membahayakan anak, antara lain munculnya agresivitas pasif seperti menarik diri, diam, dan memutus komunikasi, maupun agresivitas aktif berupa kekerasan verbal dan fisik.
Oleh karena itu, Novi menilai edukasi dan pendampingan parenting sangat penting dan sebaiknya dimulai sejak dini, termasuk melalui pendidikan emosi sosial di sekolah.
Selain itu, persiapan menjadi orang tua sebelum menikah serta pengenalan terhadap respons pasangan saat menghadapi tekanan juga dinilai penting sebagai langkah pencegahan kekerasan terhadap anak.
"Pendidikan menjadi orangtua sebelum menikah dengan melakukan cek pada perilaku pasangan atau calon pasangan, terutama ketika menghadapi situasi tidak biasa. Bagaimana reaksinya? Itu sangat penting," katanya.


