Film “Pengin Hijrah” tampilkan keindahan Indonesia dan Uzbekistan
Aktor Endy Arfian (tengah) dalam konferensi pers film "Pengin Hijrah" di Jakarta, Jumat (17/10/2025). ANTARA/Abdu Faisal
Industri film Indonesia kembali menghadirkan karya yang diproduksi di luar negeri lewat film drama romansa-religi "Pengin Hijrah" yang siap menyapa penonton mulai 30 Oktober 2025.
Sebelumnya ada drama romansa "Eiffel... I'm in Love (2003) yang diproduksi di Paris, serta "Sore: Istri Dari Masa Depan" (2025) di Kroasia dan Finlandia.
"Pengin Hijrah" adalah karya kolaborasi antara Sinemata Pictures dan Multi Buana Kreasindo (MBK) Production yang disutradarai oleh Jastis Arimba. Film ini mencoba memvisualisasikan perjalanan spiritual dan romansa dengan latar tempat yang eksotis di Indonesia dan Uzbekistan.
Tim produksi film "Pengin Hijrah" menampakkan ambisi tinggi untuk menjadi salah satu tonggak penting bagi industri film nasional.
Keberhasilan mereka untuk memproduksi film dengan fokus pada lokasi-lokasi bersejarah Islam di Asia Tengah membuktikan bahwa sineas Indonesia memiliki kapasitas dan tidak canggung dengan batasan geografis maupun budaya.
Pencapaian itu diakui dan dipuji langsung oleh Temur Mirzaev, aktor sekaligus Advisor Menteri Pariwisata Uzbekistan.
Temur melihat film ini sebagai "kendaraan" promosi yang efektif untuk negaranya, sebuah pernyataan yang menunjukkan kepercayaan tinggi terhadap kualitas produksi yang dihasilkan oleh sineas Indonesia.
Jalan Cerita
Cerita film "Pengin Hijrah" berangkat dari fiksi yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Hengki Kumayandi.
Kisahnya berpusat pada Alina Saraswati (diperankan oleh Steffi Zamora) dalam upaya perubahannya menuju kebaikan (hijrah).
Alina adalah seorang selebgram yang di mata publik media sosial terlihat hidup megah dan bahagia. Namun, citra itu hanyalah topeng. Di balik kemegahan itu, Alina menghadapi tiga kesulitan besar yang menghancurkan dirinya: skandal yang muncul akibat foto-foto unggahan seksi, tumpukan utang orang tua, dan pukulan terberat berupa jatuh sakitnya sahabat karibnya, Ulfa. Terpuruk dalam kebingungan, Alina merasa hidupnya seperti kehilangan pegangan.
Titik baliknya datang saat ia bertemu dengan Omar (Endy Arfian), seorang mahasiswa Indonesia yang digambarkan sebagai sosok "green flag" berciri-ciri tulus, sabar, dan memiliki pemikiran bijaksana.
Omar membawa Alina menuju ketenangan dan kesadaran dalam menyikapi setiap pergolakan. Hubungan mereka pun berlandaskan niat yang sama, yaitu untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Proses perubahan Alina tidaklah mudah. Perjalanannya diuji oleh Joe (Daffa Wardhana), mantan pacar Alina, yang mewakili "circle" lama yang penuh masalah.
Konflik antara masa lalu (Joe) dan masa depan (Omar) merefleksikan kesulitan banyak anak muda saat ini untuk meninggalkan lingkungan lama saat berupaya menjadi lebih baik.
Beruntung, kehadiran Nadzira Shafa sebagai Aisyah, sahabat lain yang mendukung perjuangan Alina, berhasil menekankan pentingnya "support system" yang positif dalam proses hijrah mereka.
Tonjolkan kisah emosional dan safari spiritual
Salah satu elemen menarik film ini adalah penggunaan lokasi syuting dengan visual yang eksotis.
Film ini membawa penonton ke empat tempat: kampus di Bogor, kesibukan Jakarta, negeri bersejarah Uzbekistan, dan keindahan Belitung.
Lokasi syuting di Belitung memiliki nilai historis signifikan dalam industri film. Pariwisata Belitung dulunya sempat sangat populer dan terkenal lewat film "Laskar Pelangi" yang membuka mata dunia akan keindahan alamnya.
Kini, "Pengin Hijrah" mengambil tongkat estafet tersebut. Dengan visual pantai dan pemandangan Belitung yang eksotis diharapkan pariwisata andalan kabupaten itu dapat semakin terkenal dan dikunjungi wisatawan.
Selain mempromosikan keindahan lokal, film ini juga membawa penonton langsung ke pusat peradaban Islam di Uzbekistan, termasuk kota-kota suci Samarkand, Bukhara, dan Tashkent.
Perjalanan ini adalah safari spiritual yang mendukung narasi hijrah Alina, termasuk kunjungan ke kompleks makam ulama besar Imam Bukhari.
Visual tropik di pantai Belitung dengan bangunan bercorak Asia Tengah yang diselimuti salju dan dingin, berhasil menciptakan sinematografi yang kontras.
Sayangnya, meski berlatar tempat bersejarah Islam yang kaya, eksplorasi mendalam terhadap sejarah dan budaya lokasi-lokasi tersebut terasa kurang optimal, dan lebih banyak berfungsi sebagai latar belakang dramatis untuk perjalanan emosional Alina.
Pesan utama film mengenai esensi hijrah juga terasa terlalu instruktif. Meskipun sutradara Jastis Arimba berusaha keras menyampaikan bahwa hijrah adalah proses yang manusiawi dan tidak instan, dialog-dialog yang disampaikan di film ini sering kali terasa terlalu kaku, seolah-olah ditujukan langsung untuk mengajari penonton, bukan mengalir secara alami dari interaksi karakter.
Pesan yang seharusnya menyentuh hati melalui adegan dan emosi, malah disampaikan secara gamblang melalui dialog yang menceramahi, mengurangi kedalaman emosi yang sudah terbangun.
Terlepas dari kritik tersebut, kualitas akting para pemain patut diacungi jempol. Endy Arfian (Omar) melakukan persiapan total, termasuk belajar bahasa dan budaya Uzbek dari penutur lokal, agar perannya sebagai pemuda blasteran terasa natural.
Steffi Zamora juga berhasil menampilkan dengan baik jiwa kerentanan dan kerapuhan Alina.
Kolaborasi dengan Uzbekistan diperkuat dengan kehadiran aktris senior Adolat Kimsanova (sebagai Nenek Omar, Halima).
Adolat, yang telah memiliki 50 tahun pengalaman di dunia seni peran, mengakui skenario Indonesia menantangnya untuk memerankan karakter nenek yang agresif untuk pertama kalinya, dan menunjukkan dinamika akting yang kuat.
Selain itu, Original Soundtrack yang dibawakan oleh Nadzira Shafa dengan lagu "Arah Bersamamu" memberikan lapisan emosional yang sangat personal, mengingat lagu itu adalah karya ciptaan bersama mendiang suaminya, Muhammad Ameer Azzikra.
Lagu ini benar-benar menyatu dengan tema spiritual dan romansa dalam film.
Secara garis besar, "Pengin Hijrah" adalah film yang ambisius, sukses dalam eksplorasi visual, dan berani membawa tema spiritual ke layar lebar dengan latar belakang budaya yang kaya.
Meskipun narasi dramanya terkadang terlalu dominan dalam memberikan pelajaran moral, film ini tetap penting sebagai bukti bahwa sinema Indonesia mampu menciptakan karya yang spektakuler secara visual sekaligus relevan secara spiritual.
Film ini sangat direkomendasikan bagi penonton yang ingin melihat romansa dengan latar belakang tempat yang eksotis.