Telekomunikasi berevolusi lewat AI dan Robochat
PricewaterhouseCoopers (PwC), salah satu firma akuntansi global, mengungkapkan bahwa adopsi kecerdasan artifisial (AI) secara luas dapat menambah hingga 15 poin presentase terhadap produk domestik bruto (PDB) global pada 2035, Jakarta, Selasa (17/6/2025) (Ilsutrasi - Logo OpenAI. ANTARA/REUTERS/Dado Ruvic/am.)
Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi telah menjadi katalis utama dalam transformasi berbagai sektor, termasuk industri telekomunikasi. Di tengah arus perubahan ini, robochat dan akal imitasi (AI) menjadi dua komponen penting yang mendorong efisiensi, inovasi, dan peningkatan pengalaman pelanggan. Lebih dari sekadar alat, keduanya mencerminkan arah masa depan industri yang semakin cerdas dan terotomatisasi.
Robochat atau chatbot berbasis AI, telah menjadi solusi utama dalam meningkatkan layanan pelanggan. Dengan kemampuan untuk berinteraksi secara real-time, menjawab pertanyaan, dan menyelesaikan masalah tanpa campur tangan manusia, robochat memberikan efisiensi operasional yang signifikan.
Menurut laporan IBM (2024), penggunaan AI generatif dan pemprosesan bahasa alami (NLP) dalam robochat memungkinkan perusahaan telekomunikasi untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang lebih personal dan responsif. Chatbot kini tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi juga memahami konteks, mengenali emosi, dan memberikan solusi yang relevan.
Kecerdasan buatan telah menjadi tulang punggung dalam pengelolaan data, optimasi jaringan, dan pengambilan keputusan strategis. AI memungkinkan perusahaan telekomunikasi untuk:
• Memprediksi gangguan jaringan melalui analisis data historis dan real-time.
• Melakukan pemeliharaan prediktif untuk menghindari downtime layanan.
• Personalisasi layanan berdasarkan perilaku dan preferensi pelanggan.
Prof Dr Ahmad M. Ramli, guru besar hukum siber dan regulasi digital dari Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa AI akan menjadi penentu masa depan industri telekomunikasi, karena teknologi ini memungkinkan mesin untuk menjalankan tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia, dengan presisi, kreativitas, dan kecerdikan. Ia juga menekankan bahwa AI akan berperan penting dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam sektor komunikasi dan migrasi digital.
Digitalisasi telekomunikasi
Digitalisasi bukan hanya soal migrasi dari analog ke digital, tetapi juga tentang transformasi budaya kerja dan model bisnis. Perusahaan telekomunikasi kini mengadopsi pendekatan digital-first, di mana teknologi menjadi inti dari setiap proses.
Dalam buku "Perkembangan Teknologi Digital untuk Berbagai Bidang Kehidupan", para penulis menyatakan bahwa Industri 5.0 adalah fase lanjutan dari digitalisasi yang menekankan kolaborasi antara manusia dan mesin. Tujuannya adalah untuk mengembalikan fungsi teknologi pada pemuliaan kemanusiaan, dengan menjunjung nilai human-centric, sustainability, dan resiliency.
Buku tersebut juga menyoroti bahwa teknologi digital yang berhasil bukanlah yang menggantikan manusia, tetapi yang meningkatkan kapasitas dan potensi manusia secara penuh. Dalam konteks telekomunikasi, ini berarti menciptakan sistem yang mendukung manusia dalam pengambilan keputusan, pelayanan pelanggan, dan inovasi produk.
Ketika robochat, AI, dan digitalisasi digabungkan, hasilnya adalah ekosistem telekomunikasi yang lebih adaptif, efisien, dan berorientasi pada pelanggan. Studi IBM menunjukkan bahwa 90 persen perusahaan telekomunikasi telah menggunakan AI, dengan 53 persen di antaranya percaya bahwa AI memberikan keunggulan kompetitif.
Contoh nyata dari sinergi ini adalah penggunaan kembaran digital (digital twin) untuk menyimulasikan perubahan jaringan tanpa mengganggu layanan nyata. Perusahaan juga menggunakan automasi cerdas untuk menyederhanakan proses bisnis dan meningkatkan skala pengambilan keputusan.
Tantangan
Dalam era digital yang semakin maju, kecerdasan buatan (AI) dan teknologi robochat telah menjadi komponen penting dalam transformasi industri telekomunikasi. Potensinya sangat besar, mulai dari peningkatan efisiensi layanan hingga personalisasi pengalaman pelanggan. Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat sejumlah tantangan dan isu etika yang perlu diperhatikan secara serius.
Salah satu tantangan utama adalah kualitas dan keamanan data. AI bergantung pada data dalam jumlah besar untuk belajar dan beroperasi secara efektif. Jika data yang digunakan tidak akurat atau tidak terlindungi dengan baik, maka hasil yang dihasilkan pun bisa menyesatkan atau bahkan membahayakan. Oleh karena itu, pengelolaan data yang bertanggung jawab menjadi fondasi penting dalam pengembangan teknologi ini.
Selain itu, etika dan regulasi juga menjadi sorotan. Tanpa kerangka hukum dan pedoman yang jelas, teknologi AI berisiko disalahgunakan, baik secara sengaja maupun tidak. Prof Ramli menekankan perlunya standardisasi teknis dan panduan kebijakan yang komprehensif. Ia mengutip pernyataan dari International Telecommunication Union (ITU) bahwa pengembangan AI harus difasilitasi melalui platform netral yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi.
Kesenjangan digital juga menjadi tantangan yang tidak kalah penting. Teknologi AI berpotensi memperlebar jurang antara kelompok masyarakat yang memiliki akses terhadap teknologi dan yang tidak. Untuk itu, inklusivitas harus menjadi prinsip utama agar manfaat AI dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Di masa depan, persaingan bukan lagi antara manusia dan mesin, melainkan antara individu yang mampu beradaptasi dan memanfaatkan teknologi, dan mereka yang tertinggal dalam arus perubahan. Tokoh-tokoh, seperti Elon Musk dan Mo Gawdat, telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap potensi bahaya dari AI yang berkembang tanpa kendali. Tanpa adanya regulasi yang ketat dan pengawasan yang bijak, teknologi ini bisa berubah dari alat bantu menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan umat manusia.
Robochat, AI, dan digitalisasi telah mengubah wajah industri telekomunikasi secara fundamental. Dari interaksi pelanggan hingga pengelolaan jaringan, teknologi ini membawa efisiensi, kecepatan, dan personalisasi yang belum pernah ada sebelumnya.
Pendapat para ahli dan kutipan buku akademik menunjukkan bahwa transformasi ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal nilai kemanusiaan, etika, dan keberlanjutan. Industri telekomunikasi harus terus berinovasi, sambil menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kepentingan manusia.
*) Dr Joko Rurianto adalah profesional di bidang telekomunikasi, aktif menulis jurnal pemasaran strategis dan literasi teknologi digital dalam praktik bisnis modern