Direktur Deep Indonesia soroti kontradiksi sentimen publik dan media soal pemerintahan
Deep Intelegent Research (Deep Indonesia)mengevaluasi kepemerintahan Prabowo Gibran berdasar data pemantauan media yang cenderung positif mencapai 63 persen.
Sumber foto: Hamzah Aryanto/elshinta.com.
Deep Intelegent Research (Deep Indonesia)mengevaluasi kepemerintahan Prabowo Gibran berdasar data pemantauan media yang cenderung positif mencapai 63 persen.
Direktur Deep Indonesia, Neni Nur Hayati, menyampaikan evaluasi berbanding terbalik ruang percakapan media sosial yang cenderung negatif.
"Refleksi berdasarkan data pemantauan media dari 1 Januari hingga 1 Desember 2025 sebagai upaya menilai kinerja pemerintahan dari perspektif publik," kata Neni dalam diskusi Deep Intelegent Research di Rumah Perubahan Kota Bekasi, Selasa (2/12/2025).
Ia menyebut terdapat perbedaan signifikan antara sentimen di media arus utama dan percakapan publik di media sosial, yang menurutnya menggambarkan kondisi demokrasi dan penegakan hukum yang tengah menghadapi tantangan serius.
“Ada kontradiksi antara pemberitaan media dengan potret keresahan publik di media sosial,” ujarnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Hamzah Aryanto, Rabu (3/12).
Menurutnya, masyarakat kini lebih memilih menyampaikan keluhan, kritik, dan pandangan politik melalui media sosial karena ruang tersebut tidak memiliki filter dan memberi kebebasan penuh bagi publik untuk berbicara.
"Isu-isu seperti penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kualitas demokrasi, hingga dugaan campur tangan presiden sebelumnya, menjadi topik paling sering dibicarakan di ruang digital," ungkapnya.
Selain itu, Neni menyoroti meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap tiga institusi penegak hukum, yakni KPK, Polri, dan Kejaksaan.
“Tiga lembaga ini harus melakukan reformasi secara komprehensif. Banyak kasus yang menimbulkan persepsi publik bahwa hukum mengkriminalisasi orang-orang baik,” paparnya.
Ia menilai, Presiden tidak cukup hanya memberikan abolisi, amnesti, atau rehabilitasi dalam kasus-kasus tertentu, melainkan harus menyelesaikan akar permasalahan melalui reformasi institusional.
"Pelemahan KPK pasca revisi undang-undang, serta perlunya percepatan reformasi Polri dan perbaikan tata kelola di kejaksaan," tuturnya.
Selain isu penegakan hukum, Neni menekankan kemunduran etika politik dan demokrasi Indonesia.
Ia menilai komunikasi publik pemerintah kerap gagal karena lemahnya penguasaan data dan tidak sensitif terhadap psikologi publik.
“Seharusnya pejabat publik memahami keresahan masyarakat, bukan meremehkan situasi seperti bencana yang terjadi hanya disebut ‘ramai di medsos’,” tegasnya.
Neni juga menggarisbawahi urgensi revisi Undang-Undang Pemilu, Pilkada, dan Partai Politik.
Menurutnya, partai politik tidak menjalankan regenerasi secara sehat dan hanya menjadikan musyawarah nasional sebagai seremoni tanpa pergantian kepemimpinan.
“Bagaimana bisa melahirkan pemimpin yang genuin jika partai politik tidak berbenah?” ujarnya.
Ia menilai sistem pemilu proporsional terbuka semakin meliberalisasi demokrasi dan memicu kompetisi tidak sehat antarcaleg, baik secara internal maupun eksternal.
"Kami mendorong pemerintah dan DPR mengkaji ulang sistem pemilu demi mencegah kekacauan seperti yang terjadi pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024," ujarnya.
Mengenai praktik politik elektoral, Neni menyebut pemilu 2024 sebagai salah satu yang paling “barbar” sejak Reformasi, dengan maraknya politik uang, ketidaknetralan ASN dan kepala desa, serta abuse of power dalam distribusi bansos.
“Segala cara dihalalkan untuk menang, dan hasilnya kita melihat pemimpin yang sering melahirkan kontroversi,” tuturnya.
Menurutnya, kebutuhan kolaborasi antara masyarakat sipil, pemerintah, DPR, dan MPR menjadi semakin mendesak untuk memulihkan kualitas demokrasi.
Ia menegaskan suara publik di media sosial kini tidak bisa diabaikan.
“Who is the public? Suara di media sosial hari ini juga menjadi suara rakyat,” kata Neni.
Ia menekankan tanpa kemauan politik dari elite, reformasi institusi dan demokrasi sulit terwujud.
“Masalah kita banyak, dan kita tidak bisa bekerja sendiri. Elit harus mau mendengar, bukan justru mengabaikan suara masyarakat sipil,” pungkasnya.