Intervensi teknologi dan kebijakan relevan jadi solusi perubahan iklim
Masyarakat di tingkat tapak, mulai dari pedesaan hingga pesisir, sering kali menjadi pihak yang pertama terdampak perubahan iklim.
Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.com.
Masyarakat di tingkat tapak, mulai dari pedesaan hingga pesisir, sering kali menjadi pihak yang pertama terdampak perubahan iklim. Sekalipun terkadang memiliki keterbatasan pemahaman dalam mendefinisikan krisis iklim, sebagian individu atau komunitas ini telah menerapkan kearifan lokal untuk mengatasi tantangan tersebut.
Solusi untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak hanya perlu didorong lewat kebijakan, tetapi juga teknologi. Paling mendasar, lewat diseminasi isu lingkungan dan perubahan iklim dengan platform yang tepat, untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas masyarakat.
“Fakta unik yang kami temukan, masyarakat pedesaan yang kami teliti ini justru tidak percaya peneliti. Mereka percayan informasi dari media sosial, termasuk terkait isu perubahan iklim. Jadi periset yang ingin meningkatkan pemahamanm asyarakat terkait perubahan iklim pun harus bisa mengomunikasikan ilmunya ke publik dengan platform yang tepat juga,” kata Dr. Hilya Mudrika Arini dari Universitas Gadjah Mada pada acara Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Roadshow di Yogyakarta yang diselenggarakan KONEKSI, platform kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia di Hotel Alana, Sleman, D.I. Yogyakarta, Kamis (20/11/2025).
Ia menyebut, dalam isu perubahan iklim, media massa menjadi salah satu saluran yang mampu mendiseminasikan isu ini. Namun, substansi yang terpotret masih berpusat di level makro, terkait topik Perjanjian Paris, kendaraan listrik, dan transisi energi. Padahal, hal itu sulit dipahami masyarakat. Cerita-cerita di tingkat tapak dan inovasi solusi dari peneliti justru kurang terpublikasi, membuat khalayak kurang memahami atau bahkan salah persepsi terhadap langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang perlu dilakukan. Termasuk, jika ada inovasi teknologi yang memungkinkan penduduk berkembang sekalipun di tengah krisis iklim.
Dr. Luqman-Nul Hakim (Universitas Gadjah Mada), mengatakan perubahan iklim itu memiliki tiga aspek, adaptasi, mitigasi, serta kerusakan dan kehilangan. Faktor yang terakhir ini susah dinegosiasikan karena menyangkut tanggung jawab negara-negara, mekanisme pembiayaan, dan pertanggungjawaban legal, tetapi pada 2022 lalu akhirnya diakui secara formal di bawah UNFCCC dan Perjanjian Paris.
"Sayangnya di Indonesia, kita belum punya tata kelola tentang kerusakan dan kehilangan ini. Perspektif tentang perubahan iklim juga masih belum dilihat dalam sudut pandang masyarakat terdampak, sementara keberpihakannya juga belum mengarah ke masyarakat yang terpinggirkan,” katanya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Jumat (21/11).
Bersama timnya, ia meneliti dan mengalkulasi aspek kerusakan dan kehilangan dari perubahan iklim ini di tiga wilayah, dari pesisir Pulau Pari, area urban di Cilincing, Jakarta, hingga kawasan pertanian di Banyusidi, Magelang.
Melihat penduduk di tiga kawasan tersebut belum terpayungi kerangka kebijakan untuk tata kelola terkait dampak perubahan iklim, tim riset kolaboratif Indonesia–Australia ini lalu membuat perangkat penelitian yang bisa diadaptasi masyarakat untuk mengetahui dampak perubahan iklim ini ke lingkungan dan penghidupannya. Kurangnya tata kelola untuk dampak perubahan iklim ini juga terlihat dalam penelitian lain yang didanai oleh KONEKSI.
Dr. Laely Nurhidayah (BRIN) mengungkapkan bahwa melihat kombinasi dari kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka air tanah menjadi silent disaster bagi warga di wilayah pesisir. Dalam situasi ini, perempuan dan anak jadi kaum yang rentan terhadap dampak perubahan iklim karena menanggung beban ganda.
"Perempuan misalnya, mengurus keluarga sambil terpaksa bekerja untuk mendukung kebutuhan rumah tangga, atau di level ekstrem, terpaksa bermigrasi bersama famili karena rumahnya terendam banji. Namun regulasi yang kita punya, seperti UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, belum melihat silent disaster ini sebagai sebuah bencana. Indonesia juga belum punya UU Perubahan Iklim yang secara holistik mengatur tentang ini, termasuk mekanisme proteksi sosial yang tidak hanya menitikberatkan pada bantuan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat rentan,” jelasnya.
Kebijakan untuk mengatasi dampak krisis iklim ini tidak hanya bersifat top down dari pemerintah, tetapi juga dapat bersifat bottom up.
Penelitian Aan Eko Widianto dan tim, yang memotret keseharian masyarakat Kajang di Bulukumba (Sulawesi Selatan), Tengger di Malang (Jawa Timur), dan Marapu di Sumba Timur (NTT) menunjukkan bahwa komunitas lokal sudah menerapkan kearifannya. Dengan duduk bersama, berdiskusi tentang dampak perubahan iklim, serta strategi meresponsnya, masyarakat adat menerapkan apa yang Aan sebut sebagai keadilan restoratif (restorative justice). Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan restoratif tidak dipandang secara sempit untuk penegakan hukum, tetapi lebih luas untuk memungkinkan individu, komunitas, dan lingkungan mengembalikan keseimbangan antara relasi ini lewat solusi yang inklusif. Suara tiap orang, termasuk kelompok rentan didengar dan ada interaksi untuk menyelesaikan persoalan dan merencanakan strategi pembangunan bersama-sama.
"Dampaknya, jika masyarakat secara masif terlibat, mereka dapat memahami dan mengambil keputusan untuk memecahkan sendiri masalahnya terkait dampak perubahan iklim ini," katanya.
Knowledge and Innovation Exchange (KIE) Roadshow di Yogyakarta Sebagai upaya mencari solusi dari perspektif teknologi, kebijakan, hingga intervensi sosial-ekonomi yang dapat dieskalasi di masyarakat. KIE Yogyakarta .enghadirkan 15 riset kolaboratif tentang lingkungan dan perubahan iklim, para peneliti KONEKSI menyoroti bagaimana inovasi teknologi, dengan dukungan kebijakan yang relevan, akan menciptakan masyarakat yang resilien.