Kasus Ammar Zoni, Ketum GPAN: Indonesia bukan darurat tapi bencana narkoba
Selebriti Ammar Zoni, berkali-kali tersandung kasus narkoba dan terakhir diduga mengedarkan barang haram tersebut di Lapas, Oktober 2025
Ketua Umum Generasi Peduli Anti Narkoba (GPAN), Brigjen (Purn) Siswandi menilai maraknya kasus narkoba di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) merupakan bukti gagalnya sistem pencegahan dan lemahnya pengawasan aparat. Ia menegaskan bahwa kasus yang menimpa aktor Ammar Zoni yang diduga mengedarkan narkoba di Lapas, hanyalah puncak gunung es dari persoalan peredaran gelap narkotika di balik jeruji.
Hal itu disampaikan Siswandi dalam wawancara eksklusif bersama News Anchor Telni Rusmitantri di Radio Elshinta, Sabtu (12/10/2025) pagi. “Masalahnya bukan hanya di individu. Ini kegagalan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Undang-undangnya sudah jelas, tapi siapa yang menjalankan?” ujar Siswandi.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebenarnya telah mengatur tiga hal utama: pencegahan, penegakan hukum, dan rehabilitasi bagi penyalahguna serta pecandu. Namun, implementasinya di lapangan belum maksimal.
“Undang-undang kita paling lengkap dan modern. Ada hukuman maksimal, ada minimal, dan ada rehabilitasi. Tapi kalau tidak diawaki dengan benar, ya tidak jalan-jalan,” tegasnya.
Siswandi menambahkan, dari total penghuni lapas di Indonesia, sekitar 60 persen merupakan narapidana kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 40 persennya adalah penyalahguna dan pecandu yang seharusnya direhabilitasi, bukan dipenjara.
Lebih lanjut, Siswandi menyoroti masih lemahnya pengawasan di dalam Lapas. Menurutnya, salah satu pintu utama masuknya peredaran narkoba adalah penggunaan telepon seluler oleh narapidana yang masih bisa berkomunikasi dengan jaringan di luar.
“Selama handphone masih beredar di dalam lapas, peredaran itu akan terus terjadi. Kalau dia sudah edik, pikirannya cuma narkoba. Tidak ada uang, dia ngedar, sisanya dipakai sendiri,” ungkapnya.
Ia menegaskan, tanggung jawab utama pengawasan berada di tangan Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) dan Kepala Lapas. Siswandi menyebut, apabila ada oknum aparat yang terlibat, sanksinya harus tegas tanpa kompromi.
“Kalau ada aparat terlibat, copot bajunya, kerek bendera. Jangan lagi pakai alasan kode etik,” katanya dengan nada tegas.
Dalam wawancara, Siswandi juga menilai situasi Indonesia saat ini sudah bukan lagi darurat narkoba, melainkan bencana narkoba. Menurutnya, peredaran zat terlarang sudah menyasar anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah.
“Jangan lagi pakai istilah ‘Indonesia bebas narkoba’, karena artinya malah bebas di mana-mana. Yang benar itu Indonesia bersih narkoba,” ujarnya.
Ia mencontohkan banyaknya modus penyelundupan narkotika ke dalam Lapas, mulai dari sayur mayur, makanan rantang, hingga barang bawaan pengunjung. Semua celah itu, kata dia, harus ditutup dengan pengawasan ketat dan komitmen aparat.
Siswandi juga menyoroti lemahnya efek jera akibat inkonsistensi penegakan hukum di tingkat peradilan. Ia mengungkap masih ada kasus besar dengan barang bukti puluhan kilogram yang justru divonis ringan. “Bayangkan, ada yang bawa 20 kilo dituntut empat tahun, diponis dua tahun. Tapi yang lima gram malah tujuh tahun. Ini harus dibersihkan,” tegasnya.
Ia juga menyinggung banyaknya terpidana mati kasus narkoba yang belum dieksekusi, termasuk menyoroti peran kejaksaan sebagai eksekutor. “Kalau sudah inkrah hukuman mati, ya eksekusi. Jangan dibiarkan sampai pelaku bikin pidana baru di dalam lapas,” ujarnya.
Menutup wawancara, Brigjen (Purn) Siswandi mengajak seluruh masyarakat, aparat penegak hukum, dan Pemerintah untuk membangun komitmen bersama melawan peredaran narkoba demi masa depan bangsa. “Kalau sudah kena narkoba, hidupmu hanya ada tiga pilihan: penjara, rehabilitasi, atau mati. Jadi pilihlah hidup sehat dan bersih tanpa narkoba, supaya bahagia dunia akhirat,” tutupnya.
Penulis; Dedy Ramadhany/Ter