Keluar dari jebakan politik perberasan

Update: 2025-10-06 01:02 GMT

Buruh mengangkut beras di salah agen beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (11/8/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Politisasi perberasan menjadi semacam gejala lama yang masih saja kerap terjadi di negeri agraris ini. Dalam praktiknya, isu beras sering dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik, baik melalui pengaturan harga, distribusi, maupun produksi. Padahal, beras semestinya menjadi komoditas strategis yang berfungsi menjaga ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan kestabilan sosial-ekonomi masyarakat.

Saat beras dijadikan instrumen politik, kepentingan rakyat kerap terpinggirkan, dan kebijakan pangan kehilangan arah keberpihakan. Dalam konteks Indonesia, politisasi perberasan tampak dalam berbagai kebijakan yang berkaitan dengan stok, harga, distribusi, dan data produksi.

Penggunaan stok beras sebagai alat politik misalnya, dapat dilakukan untuk mengatur harga atau mempengaruhi opini publik. Dalam sejarah pemerintahan, praktik seperti ini pernah muncul ketika pasokan beras dikendalikan bukan semata-mata karena pertimbangan logistik, melainkan demi menjaga stabilitas politik.

Stok beras dapat diarahkan untuk menenangkan pasar atau memenangkan simpati rakyat dengan harga murah. Namun, pada saat yang sama bisa juga digunakan untuk mempengaruhi persepsi petani melalui kebijakan harga tinggi.

Kebijakan harga beras yang seharusnya berfungsi menjaga keseimbangan antara kepentingan petani dan konsumen, terkadang justru menjadi sarana untuk meningkatkan popularitas kelompok tertentu. Penetapan harga yang terlalu rendah memang bisa menenangkan publik, tetapi merugikan petani yang tidak memperoleh nilai jual yang layak. Sebaliknya, harga yang terlalu tinggi dapat menekan daya beli masyarakat.

Ketika logika politik lebih dominan daripada logika ekonomi, kebijakan harga kehilangan fungsi stabilisasinya. Padahal, keseimbangan antara produsen dan konsumen merupakan kunci bagi sistem pangan yang sehat dan berkelanjutan.

Pemerintah dapat melakukan intervensi pasar melalui operasi beras atau kebijakan impor, tapi harus tetap berpijak pada kebutuhan riil masyarakat dan kemampuan produksi dalam negeri. Subsidi bagi petani pun perlu diarahkan secara tepat agar benar-benar memperkuat produktivitas, bukan sekadar menjadi instrumen politik populis.

Masalah distribusi beras juga sering kali menjadi cerminan bagaimana aspek teknis kebijakan disusupi kepentingan politik. Dalam situasi tertentu, penyaluran beras dilakukan tidak berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya, melainkan pada peta dukungan politik.

Daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan bisa saja lebih mudah mendapatkan pasokan, sementara wilayah lain yang lebih membutuhkan justru tertinggal. Bahkan, distribusi bantuan pangan kadang dijadikan alat pertukaran dukungan menjelang pemilihan.

Akibatnya, tujuan mulia pemerataan pangan rentan bergeser menjadi praktik diskriminatif yang justru melemahkan rasa keadilan masyarakat. Dalam konteks ini, transparansi dan akuntabilitas distribusi menjadi hal mutlak agar kebijakan pangan tidak lagi digunakan sebagai alat kepentingan sesaat.

Manipulasi data produksi dan stok beras kerap kali dikhawatirkan menjadi bentuk lain dari politisasi yang sering luput dari perhatian publik. Data yang seharusnya menjadi fondasi kebijakan sering kali dipoles agar tampak ideal. Produksi bisa dilaporkan lebih tinggi dari kenyataan untuk menunjukkan keberhasilan, sementara data kekurangan pasokan atau kenaikan harga disamarkan untuk menjaga citra.

Padahal, kebijakan publik yang disusun berdasarkan data tidak akurat hanya akan memperburuk keadaan.

Ketika data dimanipulasi, perencanaan menjadi tidak tepat sasaran, pasar kehilangan keseimbangan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun. Karena itu, kejujuran data adalah fondasi bagi kebijakan pangan yang sehat dan berkeadilan.

Ruang Perbaikan

Di balik segudang tantangan tersebut, selalu ada ruang untuk perbaikan. Politisasi perberasan bisa menjadi pelajaran berharga untuk memperkuat tata kelola pangan nasional yang lebih adil, transparan, dan berbasis kepentingan rakyat.

Langkah pertama adalah menegakkan keterbukaan dalam pengelolaan stok, harga, dan distribusi beras. Semua proses harus dapat diawasi publik, karena hanya dengan transparansi kebijakan pangan bisa memperoleh kepercayaan.

Masyarakat berhak tahu bagaimana stok beras dikelola, bagaimana harga ditentukan, dan bagaimana data produksi disusun.

Keterbukaan ini bukan ancaman bagi pemerintah, melainkan bentuk tanggung jawab moral untuk memastikan kebijakan berpihak kepada rakyat.

Langkah kedua adalah memastikan bahwa kebijakan perberasan disusun berdasarkan fakta dan data yang akurat.

Pemerintah harus menjauh dari kebijakan yang disusun berdasarkan kepentingan jangka pendek atau tekanan politik. Ketika kebijakan beras berpijak pada realitas lapangan dan kebutuhan masyarakat, keputusan yang diambil akan lebih efektif dan berkelanjutan.

Penerapan sistem data terpadu, pemantauan digital terhadap pasokan dan harga, serta pelibatan lembaga independen dalam verifikasi data dapat memperkuat kredibilitas kebijakan pangan nasional. Selain itu, partisipasi masyarakat perlu diperluas dalam setiap tahap pengambilan keputusan. Petani, pedagang, dan konsumen seharusnya memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pengalaman mereka.

Pelibatan publik bukan hanya memperkaya perspektif kebijakan, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap sistem pangan nasional. Dengan begitu, kebijakan beras tidak lagi menjadi milik segelintir pengambil keputusan, melainkan hasil kesepakatan bersama untuk mencapai kesejahteraan.

Upaya lain yang tidak kalah penting adalah membangun sistem distribusi beras yang efektif dan bebas dari kepentingan politik. Distribusi harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan efisiensi agar setiap wilayah mendapat jaminan ketersediaan pangan sesuai kebutuhan.

Pemerintah perlu memperkuat kerja sama lintas lembaga, meningkatkan kapasitas logistik daerah, serta memastikan data penerima bantuan disusun secara terbuka dan tepat sasaran. Dengan distribusi yang transparan, masyarakat dapat melihat bahwa kebijakan pangan benar-benar hadir untuk melayani, bukan untuk memihak.

Keluar dari jebakan politisasi perberasan bukan hal mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Semua pihak perlu menyadari bahwa beras bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan simbol kehidupan dan kedaulatan bangsa.

Menjaga integritas dalam kebijakan perberasan berarti menjaga martabat petani, menegakkan keadilan bagi konsumen, dan memastikan kemandirian pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan keterbukaan, data yang jujur, partisipasi masyarakat, dan kebijakan yang berpijak pada kepentingan publik, Indonesia dapat membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan berkeadilan.

Hanya dengan cara itu, beras dapat kembali menjadi simbol kesejahteraan, bukan alat kepentingan politik.

Tags:    

Similar News