Kerasnya kehidupan jalanan, kini petinju remaja temukan rumah di Sekolah Rakyat

Update: 2025-11-08 09:10 GMT

Haris Okoka, siswa SRMA 29 Jayapura, Papua 

Kerasnya kehidupan jalanan di Kota Jayapura, Papua, telah menjadi santapan sehari-hari Haris Okoka. Remaja 17 tahun itu ditinggal kedua orangtuanya meninggal dunia, saat usia SD. Haris sempat diasuh keluarga besar orangtuanya. Namun akhirnya tidak tahan dan memilih menjadi anak angkat Hani Tukayo, ibu dari teman semasa SMP-nya.

Meski telah memiliki ibu asuh namun pengaruh lingkungan lebih kuat. Dia sempat terbawa pergaulan anak jalanan. Ikut tawuran, balap motor, hingga begadang nyaris tiap hari. “Kalau di rumah pergi main, jarang pulang, ikut tawuran lalu ikut tinju tapi gak dapat apa-apa, kalau nakal banyak,” tuturnya saat diwawancarai di Jayapura, beberapa waktu lalu.

Lantaran perangainya itu pula dia sempat tidak naik kelas saat SD dan SMP. Beruntung siklus pergaulan di jalanan bisa terputus lantaran kini dia diterima menjadi siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 29 Jayapura.

Terancam tak bisa melanjutkan pendidikan karena faktor biaya, Haris dan ibu angkatnya mendapat informasi dari kerabat almarhumah mamanya bahwa program Sekolah Rakyat berkonsep asrama yang digagas langsung Presiden Prabowo Subianto dibuka di Jayapura.

Dia pun menerima tawaran itu meski dengan banyak pertimbangan. “Karena masih diizinkan latihan (tinju) saya mau,” katanya, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima dari Humas Kemensos, Sabtu (8/11/2025).

Masa-masa awal kehidupan Haris di asrama Sekolah Rakyat tak mudah. Dia harus melawan dirinya sendiri yang terbiasa hidup bebas di luar, sementara di asrama aturannya ketat. Adaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman baru juga menjadi masalah lain baginya. Dia sempat berkali-kali berseteru dengan rekan-rekannya. “Apa-apa tangan, apa-apa tangan, dari awal saya susah kontrol emosi,” ujarnya.

Namun di balik sifat keras dan temperamennya, Haris sebagaimana remaja umumnya adalah anak-anak yang butuh perhatian dan kasih sayang. Di Sekolah Rakyat, dia akhirnya belajar ada cara lain menyelesaikan persoalan selain dengan otot.

“Awalnya emosian, apa-apa langsung fisik. Terus kita ajarin teknik tarik napas dulu, keluarkan, tarik napas, baru kamu berbicara. Kalau ada sesuatu relaks dulu,” kata Sinta Ari Susanti, wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SRMA 29 Jayapura.

Sinta menjelaskan, setelah menggali kisah hidup Haris diketahui dia memiliki trauma kekerasan di masa kecilnya. Salah satu dampaknya dia mudah tersulut emosi terutama dalam kondisi bising.

Setelah kehilangan kedua orangtuanya, Sinta juga mensinyalir Haris kehilangan sosok pembimbing dan pengayom dalam hidupnya. Sinta dan para pendidik lainnya mencoba mencarikan solusi dengan menemukan tempat nyaman dan tenang, yaitu di perpustakaan.

Hal lain yang dilakukan Sinta adalah menerapkan teknik Goals, Reality, Options, Will/Way Forward (GROW) dari ESQ. Ketika ada masalah, dia memberikan opsi kepada Haris agar menyelesaikan masalah itu sendiri. “Dari situ dia minta maaf, dia mengaku kesalahannya,” katanya.

Empat bulan berselang, kerja keras para guru, kepala sekolah, wali asuh, dan wali asrama, mulai membuahkan hasil. Haris kini lebih tenang, tak lagi temperamental. Dia juga telah memiliki sahabat dekat, Arlin Robby, atlet pencak silat. Haris juga dipercaya menjadi Ketua Kelas 10 C dan ketua barak asrama.

Haris mengakui semenjak tinggal di asrama Sekolah Rakyat hidupnya jadi teratur. Dia tidak pernah lagi tidur di atas jam 12 malam. Ditambah lagi asupan makan terjamin dan semua kebutuhan serba tercukupi. Kemauan Haris berubah tak lepas dari mimpinya. Dia bercita-cita dapat kuliah di Universitas Pertahanan (Unhan) atau masuk menjadi prajurit TNI.

Haris adalah salah satu potret dari ribuan siswa Sekolah Rakyat yang kini merajut asa untuk keluar dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Sepanjang 2025 telah berdiri 166 Sekolah Rakyat yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia dengan 15.945 siswa. (Suw/Ter)

Similar News