KH Cholil Nafis: Ustaz harus paham batas etika dan kepantasan di panggung dakwah

Update: 2025-11-13 10:15 GMT

KH Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH. Dr. Cholil Nafis, menegaskan tidak ada pembenaran atau normalisasi terhadap tindakan tak pantas yang dilakukan oleh pendakwah di ruang publik. Hal ini disampaikan menanggapi viralnya video seorang ustaz asal Kediri, Mohammad Elham Yahya Luqman (Gus Elham), yang mencium anak-anak perempuan di atas panggung.

Dalam wawancara Radio Elshinta edisi Siang, Rabu (13/11/2025) bersama news anchor Telni Rusmitantri, Cholil mengatakan bahwa perilaku seorang pendakwah tidak hanya dinilai dari isi ceramahnya, tetapi juga dari sikap dan gestur yang ditampilkan di depan publik. “Da’i itu menyampaikan kebenaran dan petunjuk kebaikan. Maka kepantasan menjadi ukuran bagi seorang da’i. Mungkin bagi orang awam biasa, tapi bagi ustaz, tidak pantas,” tegas Cholil.

Ia menjelaskan, meski tindakan mencium anak kecil bisa dianggap biasa dalam konteks keluarga, namun ketika dilakukan di depan publik, apalagi dalam konteks dakwah, hal itu menjadi tidak layak. Menurutnya, publik berhak menilai karena pendakwah merupakan figur panutan yang harus menjaga keteladanan. “Kalau sayang kepada anak-anak, cukup dengan mengelus kepala seperti yang diajarkan Rasulullah. Bukan dengan mencium di depan umum. Itu tidak pantas,” ujar Cholil.

Menanggapi pandangan bahwa sebagian masyarakat menganggap tindakan tersebut hal biasa, Cholil menegaskan tidak ada normalisasi perilaku tak pantas. Ia menilai, masyarakat sebenarnya menolak, namun sebagian tidak berani menyampaikan secara terbuka atau speak up karena faktor budaya dan rasa sungkan terhadap tokoh agama.

“Sependek pengetahuan saya, tidak ada yang menganggap itu normal. Pasti orang yang melihat merasa janggal. Hanya saja, ada yang berani bicara dan ada yang bingung harus berbuat apa,” jelasnya.

Cholil juga menjelaskan bahwa MUI memiliki pedoman da’i yang memuat standar etika dan akhlak dalam berdakwah. Ia menegaskan, seorang ustaz atau da’i seharusnya sudah memahami batas kepantasan tanpa harus diajarkan lagi. “Kalau ustaz tidak tahu mana kepantasan, berarti belum layak jadi ustaz,” katanya.

Menurutnya, MUI membedakan antara ulama dan da’i. Ulama memiliki kualifikasi keilmuan mendalam seperti tafsir, fikih, dan ushul fikih, sementara da’i lebih berperan mengajak pada kebaikan. Namun, keduanya tetap terikat pada nilai-nilai akhlak Islam.

Terkait banyaknya penceramah muda tanpa dasar keilmuan kuat, Cholil menjelaskan bahwa di Indonesia, tidak seperti di negara lain seperti Malaysia atau Brunei, penceramah belum melalui sistem sertifikasi formal yang diakui negara. Namun MUI telah menetapkan standarisasi da’i melalui pelatihan Dai Siar dan Syiar Islam (Disiati) yang kini sudah melahirkan lebih dari 4.000 lulusan di 40 angkatan.

“Standar sudah ada, tapi bukan sertifikat. Karena sertifikat itu konsekuensinya bayaran dari negara, sementara di Indonesia da’i dibayar masyarakat,” terangnya.

Mengenai kemungkinan pemberian sanksi, Cholil menyebut MUI tidak memiliki kewenangan hukum, namun bisa memberikan sanksi moral. Ia menilai, masyarakat bisa menolak menghadirkan penceramah yang dinilai tidak pantas, sebagai bentuk kontrol sosial. “Sanksi moral itu penting. Kalau masyarakat tidak lagi mengundang atau hadir di pengajian yang bersangkutan, itu sudah bentuk koreksi sosial,” ungkapnya.

Ia juga menegaskan, kasus ini bukan mencerminkan dunia pesantren secara umum. Menurutnya, peristiwa tersebut terjadi di pengajian umum, bukan di lingkungan pesantren atau santri. “Ini bukan tradisi pesantren. Jangan digeneralisir. Pesantren-pesantren di Indonesia justru banyak yang menolak hal seperti ini,” tandasnya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Similar News