KPBB ungkap dugaan kesalahan blending BBM jadi sebab motor mogok usai isi Pertalite

Update: 2025-10-30 11:26 GMT

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, menduga penyebab sejumlah sepeda motor mogok setelah mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite di Jawa Timur disebabkan oleh kesalahan proses pencampuran atau blending bensin yang mengandung etanol.

Dalam wawancara di Elshinta News and Talk edisi siang, Kamis (30/10/2025), Ahmad menjelaskan bahwa gejala motor kehilangan tenaga atau ngempos bisa terjadi karena angka oktan (RON) pada bensin turun di bawah standar minimal yang dibutuhkan kendaraan bermotor di Indonesia.

“Teknologi sepeda motor di Indonesia seharusnya menggunakan bensin dengan angka oktan minimal 91. Sementara Pertalite hanya memiliki RON 90,” ungkapnya kepada News Anchor Asrofi.

Menurut Ahmad, kondisi tersebut bisa semakin memburuk jika bensin yang digunakan tercampur air akibat kandungan etanol yang bersifat higroskopis atau mudah menyerap air. Ia menjelaskan, pencampuran etanol seharusnya dilakukan di tahap akhir distribusi, dan bukan di bahan bakar dasar (base fuel) seperti yang diduga terjadi saat ini.

“Etanol itu bukan zat terlarang untuk bensin. Tapi tidak boleh dicampur dari awal. Jika dicampur sejak base fuel, etanol akan menyerap air dan menurunkan angka oktan,” katanya.

Ahmad menambahkan, etanol pada dasarnya berfungsi sebagai octane booster atau peningkat angka oktan. Namun, bila terlalu lama tercampur dan menyerap air, fungsinya justru berubah menjadi sebaliknya.

“Ketika etanol mengikat air, otomatis perannya sebagai octane enhancer hilang, dan angka oktan dalam bensin ikut turun,” jelasnya.

Kondisi tersebut memicu fenomena knocking atau pembakaran prematur di ruang mesin, yang menyebabkan kendaraan kehilangan tenaga.

“Bensin seharusnya terbakar oleh percikan api dari busi, bukan oleh tekanan piston. Jika terbakar duluan, maka terjadilah pembakaran prematur yang membuat motor tidak bertenaga,” lanjut Ahmad.

Lebih lanjut, Ahmad Safrudin menilai bahwa persoalan ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi juga menyangkut keteledoran dalam pengawasan dan manajemen BBM nasional.

Ia menuding adanya kelalaian dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Pertamina dalam menjaga mutu dan distribusi bahan bakar.

“Yang salah jelas Menteri ESDM, di bawahnya ada Dirjen Migas. Pertamina juga tidak profesional karena impor base fuel saja bisa salah. Itu kesalahan fatal,” tegas Ahmad.

Ia bahkan menyerukan agar ada evaluasi besar-besaran di tubuh Pertamina dan Kementerian ESDM, termasuk tanggung jawab dari Presiden meninjau ulang tata kelola energi nasional.

Selain kualitas, Ahmad juga menyoroti persoalan ketidakwajaran harga BBM di Indonesia.

Menurutnya, harga jual BBM seolah tampak murah dibanding negara lain, namun sebenarnya terlalu tinggi jika dilihat dari kualitasnya yang masih setara standar Euro 1–2, jauh di bawah negara lain seperti Malaysia (Euro 5) dan Australia (Euro 6).

“Pertalite seharusnya tidak lebih dari Rp8.000 per liter, tapi dijual Rp11.700. Ini akibat permainan oil trader yang menaikkan harga di atas harga pokok penjualan,” ujarnya.

Ahmad menilai sistem pengadaan dan impor BBM perlu diaudit menyeluruh agar publik tahu penyebab sebenarnya harga BBM mahal di dalam negeri.

Di akhir wawancara, Ahmad Safrudin menegaskan bahwa kasus ini harus menjadi momentum memperbaiki krisis tata kelola BBM nasional, mulai dari pengawasan mutu, transparansi harga, hingga penyesuaian standar bahan bakar sesuai teknologi kendaraan modern.

“Ini bukan masalah baru, tapi klasik yang terus berulang. Presiden harus turun tangan karena publik sudah kehilangan kepercayaan,” tutupnya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Similar News