Menahan tarif PPN, menguatkan optimisme publik

Update: 2025-12-16 00:19 GMT
Elshinta Peduli

Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai pada 2026 patut dibaca lebih jauh daripada sekadar kebijakan fiskal teknis.

Di balik angka-angka big data yang menunjukkan sentimen positif publik mencapai 60 persen, tersimpan pesan sosial dan ekonomi yang lebih dalam tentang relasi negara dengan warganya di tengah fase pemulihan yang belum sepenuhnya kokoh.

Kebijakan ini bukan hanya soal pajak, melainkan soal kepekaan membaca denyut daya beli, psikologi publik, dan keberlanjutan pemulihan ekonomi nasional.

PPN adalah pajak konsumsi yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap perubahan tarifnya langsung terasa di meja makan, ongkos transportasi, hingga harga kebutuhan dasar.

Karena sifatnya yang regresif, kenaikan PPN akan lebih cepat dan lebih keras menghantam kelompok berpendapatan rendah dan menengah.

Dalam konteks ini, keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menahan kenaikan PPN dapat dibaca sebagai pengakuan negara bahwa beban ekonomi rumah tangga belum sepenuhnya pulih.

Langkah ini menjawab kegelisahan publik yang sejak lama khawatir pemulihan makro tidak selalu sejalan dengan kondisi mikro di level keluarga. Apresiasi publik yang terekam dalam pemantauan big data tidak muncul tanpa alasan. Sentimen positif itu berkelindan dengan optimisme yang lebih luas terhadap arah kepemimpinan nasional.

Riset GREAT Institute pada akhir Oktober 2025 menunjukkan 89,3 persen publik optimistis terhadap masa depan Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto, dan 71,8 persen merasa kondisi ekonomi rumah tangganya lebih baik dibanding periode sebelumnya.

Elshinta Peduli

Optimisme ini penting karena ekonomi tidak hanya digerakkan oleh angka dan kebijakan, tetapi juga oleh ekspektasi. Ketika masyarakat percaya bahwa pemerintah berpihak pada kesejahteraan mereka, konsumsi dan aktivitas ekonomi akan bergerak lebih berani.

Purbaya Effect

Konsep yang disebut sebagai Purbaya Effect menjadi menarik untuk dikaji secara kritis. Efek ini menunjukkan bahwa figur pengambil kebijakan fiskal dapat membentuk kepercayaan publik melalui konsistensi, kehati-hatian, dan keberanian menahan diri.

Dalam iklim global yang masih penuh ketidakpastian, mulai dari perlambatan ekonomi dunia hingga volatilitas geopolitik, pendekatan fiskal yang adaptif menjadi jauh lebih relevan dibanding kebijakan yang kaku dan pro-siklikal.

Menahan kenaikan PPN saat ekonomi belum sepenuhnya pulih adalah sinyal bahwa pemerintah memahami siklus ekonomi dan tidak sekadar mengejar penerimaan jangka pendek.

Dari perspektif ekonomi makro, kebijakan ini berfungsi sebagai stimulus diam-diam yang tepat sasaran. Konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menjaga agar konsumsi tidak tertekan berarti menjaga mesin pertumbuhan tetap hidup.

Adrian Nalendra Perwira, peneliti ekonomi GREAT Institute, menekankan bahwa kebijakan fiskal tidak seharusnya membebani ekonomi ketika masyarakat dan dunia usaha sedang berupaya bangkit.

Pernyataan ini menggarisbawahi satu prinsip penting bahwa kebijakan pajak harus sensitif terhadap fase siklus ekonomi, bukan sekadar patuh pada target penerimaan.

Dunia usaha juga membaca kebijakan ini sebagai sinyal stabilitas. Kepastian pajak adalah faktor krusial dalam perencanaan investasi, terutama bagi sektor ritel, manufaktur, dan pengusaha UMKM formal yang margin usahanya relatif tipis.

Ketika tarif pajak konsumsi tidak berubah, pelaku usaha dapat menyusun proyeksi harga, produksi, dan ekspansi dengan risiko yang lebih terukur. Dalam jangka menengah, stabilitas ini berpotensi menjaga penciptaan lapangan kerja dan mencegah gelombang penyesuaian harga yang bisa memicu inflasi psikologis.

Lebih dari itu, kebijakan ini juga memberi ruang bernapas bagi kelompok rentan yang selama ini paling sensitif terhadap gejolak harga. Inflasi pangan, biaya pendidikan, dan kebutuhan energi masih menjadi tekanan nyata di banyak daerah.

Dengan menahan PPN, pemerintah secara tidak langsung meredam risiko akumulasi beban yang bisa memperlebar kesenjangan sosial. Dalam perspektif kebijakan publik, langkah ini mencerminkan pilihan rasional untuk menempatkan stabilitas sosial sebagai fondasi pemulihan ekonomi.

Negara tidak sekadar hadir sebagai pemungut pajak, tetapi sebagai penyeimbang yang memastikan proses pemulihan berlangsung inklusif dan tidak meninggalkan kelompok yang paling terdampak oleh krisis sebelumnya.

Kualitas perpajakan

Namun, keputusan tidak menaikkan PPN juga memunculkan pertanyaan strategis yang perlu dijawab secara terbuka. Jika kenaikan tarif bukan pilihan, dari mana ruang fiskal akan diperoleh? Di sinilah diskursus perlu bergeser dari perdebatan tarif ke kualitas sistem perpajakan.

Optimalisasi penerimaan melalui perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan, dan perluasan basis pajak menjadi agenda yang tidak bisa ditunda. Digitalisasi perpajakan, integrasi data, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten akan jauh lebih berkelanjutan dibanding menaikkan tarif yang justru berisiko menggerus daya beli.

Transparansi dan dialog publik juga menjadi elemen kunci. Kebijakan pajak yang legitim harus dipahami, bukan hanya diumumkan.

Ketika publik mengetahui alasan, konteks, dan arah jangka panjang kebijakan fiskal, kepercayaan akan terbangun dengan sendirinya. Dalam hal ini, komunikasi kebijakan menjadi sama pentingnya dengan substansi kebijakan itu sendiri.

Pemerintah memiliki peluang untuk menjadikan kebijakan PPN 2026 sebagai pintu masuk edukasi publik tentang reformasi perpajakan yang lebih adil dan inklusif. Ke depan, tantangan fiskal tidak akan semakin ringan. Kebutuhan pembiayaan pembangunan, perlindungan sosial, dan transformasi ekonomi akan terus meningkat.

Namun, kebijakan menahan kenaikan PPN menunjukkan bahwa pemerintah memilih jalur kehati-hatian yang berorientasi pada manusia.

Ini adalah pengingat bahwa kebijakan ekonomi yang kuat bukan hanya yang mampu mengumpulkan penerimaan, tetapi yang mampu menjaga keseimbangan antara keadilan sosial, keberlanjutan pertumbuhan, dan kepastian usaha.

Dalam situasi pemulihan seperti saat ini, keberanian untuk tidak menaikkan pajak konsumsi justru bisa menjadi keputusan fiskal paling strategis.

Elshinta Peduli

Similar News