Menakar kesiapan mewujudkan bahan bakar berbasis etanol

Update: 2025-10-24 05:20 GMT

Uji coba penggunaan Bioethanol E10 di kendaraan jenis mobil. ANTARA/HO-PT Pertamina Patra Niaga (.)

Beberapa minggu terakhir publik di Indonesia, khususnya para pemilik kendaraan bermotor, dibuat gundah gulana oleh adanya wacana kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang akan mewajibkan campuran etanol dalam bahan bakar minyak sebesar 10 persen, atau disebut E 10.

Sontak, kebijakan ini viral di jagat maya. Masyarakat khawatir kendaraan bermotornya akan kurang andal (ngempos) jika menggunakan BBM yang mengandung etanol. Konsumsi bahan bakar juga akan lebih boros, sehingga masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan bakar. Itulah kira-kira opini dominan publik terhadap wacana kebijakan E 10, yang akan diterapkan pada 2027.

Nah, bagaimana sejatinya kesiapan dan tantangan untuk mewujudkan bahan bakar berbasis etanol tersebut? Dan bagaimana pula dampak terhadap mesin kendaraan, harga BBM dan keberlanjutan ke depannya? Ada beberapa catatan terkait hal tersebut.

Pertama, isu lingkungan hidup. Salah satu pemicu efek gas rumah kaca (pemanasan global), adalah tingginya penggunaan energi fosil, yang mayoritas digunakan untuk sektor transportasi (kendaraan bermotor) dan juga pembangkit listrik.

PBB dan seluruh negara di dunia tengah memerangi efek pemanasan global, dengan mereduksi (mengurangi) produksi dan konsumsi energi fosil tersebut, dengan skema kebijakan Net Zero Emission, hingga 2060.

Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kebijakan E-10, adalah kebijakan yang sejalan dengan kebijakan global. Sebab dengan memasukkan unsur bahan bakar nabati (etanol) ke dalam bahan bakar fosil, akan berkontribusi untuk mereduksi produksi emisi gas buang (gas karbon), yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Ingat, sektor transportasi berkontribusi paling signifikan menghasilkan gas karbon, mengingat mayoritas warga masih menggunakan kendaraan pribadi untuk sarana mobilitasnya. Jumlah sepeda motor di Indonesia pun menjulang hingga 132 juta unit. Di DKI Jakarta sendiri jumlahnya mencapai lebih dari 23 juta unit sepeda motor.

Kedua, relevan dengan komitmen global tersebut, dalam ranah internasional, penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar minyak bukan hal yang baru, bahkan sudah banyak yang menggunakan dalam jumlah/prosentase yang cukup banyak. Negara-negara di Eropa sudah lama menggunakan kebijakan etanol dalam bahan bakarnya, kisaran antara 20-30 persen.

Hal serupa juga dilakukan di Amerika, bahkan SPBU Shell di Amerika Serikat juga menyediakan/menjual BBM yang mengandung etanol. Jadi hal yang aneh jika Shell Indonesia menolak impor base fuel dari Pertamina hanya karena mengandung etanol sebesar 3,5 persen saja. Sangat kecil.

Di Brasil, kandungan etanol dalam bahan bakar sudah mencapai 85 persen, bahkan 100 persen. Bahkan, di Brasil, bahan bakar pesawat pun sudah menggunakan etanol. Bagaimana di negara ASEAN? Thailand sudah menggunakan etanol dalam bahan bakarnya, sebesar 20 persen (E-20). Jadi kebijakan etanol dalam bahan bakar bukanlah hal baru di level internasional.

Ketiga, aspek perlindungan konsumen. Ini isu terpenting, karena akan berdampak langsung pada end user (pengguna akhir). Terkait hal ini terbangun opini bahwa bahan bakar etanol akan menggerus pengunaan bahan bakar (menjadi boros).

Dari sisi teknis pembakaran di mesin, fenomena ini memang ada benarnya, sebagaimana ditandaskan Dr Tri Yuswidjayanto, ahli mesin bakar ITB, dalam suatu dialog di televisi, bersama penulis.

Hanya saja, efek boros ini dikompensasi dengan oktan yang lebih tinggi pada etanol, yang bisa mencapai kisaran 100-110, jadi lebih tinggi dibanding nilai oktan dari BBM. Manakala octane number tinggi, maka kinerja mesin akan jauh lebih baik dan klimaksnya tidak menggerus penggunaan bahan bakar pada kendaraannya.

Dari sisi kendaraan, menurut keterangan Hari Budianto, Ketua Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), penggunaan etanol juga tidak masalah. Mesin sepeda motor di Indonesia sudah didesain untuk menggunakan etanol sebesar 10 persen, sejak 2010. Jadi, kebijakan pemerintah dengan E10 tidak akan menimbulkan dampak negatif pada mesin kendaraan sepeda motor.

Bahkan, Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menandaskan bahwa mesin kendaraan (mobil di Indonesia) aman dengan kandungan etanol antara 10-20 persen. Nah, loh.

Keempat, kesiapan Pertamina. Ternyata, sebelum Menteri ESDM menggulirkan kebijakan E10, Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional, semenjak dua tahun terakhir sudah memproduksi BBM jenis pertamaks green, yang di dalamnya mengandung etanol sebesar 5 persen (E5). Produk pertamaks green tersebut sudah tersedia di 170 outlet SPBU di wilayah Pulau Jawa.

Selama ini, menurut keterangan Mars Ega Legowo Putra, Direktur Utama Pertamina Parta Niaga (PPN), tidak ada komplain dari pengguna kendaraan dengan produk pertamaks green tersebut. Jadi, artinya, jika nanti kebijakan E10 menjadi mandatori, maka tidak ada persoalan teknis di lapangan dan kesiapan infrastruktur milik PPN tersebut.

Meskipun demikian, di sisi lain, Pertamina harus menyediakan atau meng-upgrade infrastruktur pendukungnya secara lebih masif, jika kebijakan E10 menjadi mandatori. Sebab Pertamina, saat ini memiliki lebih dari 7.000 SPBU di seluruh Indonesia.

Kebijakan bahan bakar berbasis etanol, bukanlah kebijakan yang keliru, baik dari sisi kebijakan energi, lingkungan global, dan juga pemenuhan hak konsumen sebagai pengguna bahan bakar untuk kendaraan bermotornya. Bahkan, bahan bakar jenis nabati ini (bio energy) musti dikembangkan secara serius dan masif, sehingga berdampak positif secara signifikan terhadap lingkungan, dan akan memompa pertumbuhan ekonomi mikro di Indonesia.

Kebijakan E10 memerlukan akselerasi dan konsistensi pemerintah, dari lintas kementerian dan lembaga; bukan hanya Kementerian ESDM. Kementerian lain pun harus bergerak cepat, seperti Kementan, Kemenperin, Kemendag, dan Bulog.

Merujuk pada Rencana Energi Energi Nasional (RUEN), sejatinya penggunaan etanol pada 2025 seharusnya sudah pada level E15. Jadi kita mengalami delay beberapa tahun, tersebab pada 2027 baru akan dimulai dengan E10. Jika kebijakan ini berjalan optimal, para petani akan berlomba menanam singkong dengan semangat yang tinggi, dan nilai keekonomian singkong akan melejit.

Para pemilik kendaraan bermotor akan feeling happy, sebab bahan bakar etanol yang memiliki nilai oktan lebih tinggi justru akan mengakselerasi kinerja mesin kendaraannya. Selama setahun ke depan (2026) selain harus menyiapkan infrastruktur dan aspek teknis di lapangan, pemerintah pun harus melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan, terkait urgensi dan kebermanfaatan kebijakan E10 ini.

Hal tersebut sangat mendesak dilakukan mengingat literasi masyarakat terhadap produk BBM dan juga etanol masih sangat minim. Kunci keberhasilan terhadap program E10, tidak lepas adanya dukungan semua pemangku kepentingan, khususnya masyarakat.

Tags:    

Similar News