Mengembalikan mandat sosial BUMN dalam bencana Sumatera
Ilustrasi. Foto udara jalan yang terputus akibat banjir di Desa Kuala Keureuto, Aceh Utara, Aceh, Senin (8/12/2025). (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)
"BUMN itu milik rakyat Indonesia." Pernyataan ini, yang kerap menjadi rujukan dalam diskursus publik, menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana BUMN merespons bencana banjir dan longsor di Sumatera.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, hingga 7 Desember ada 940 orang meninggal dunia, 276 orang masih hilang, dan lebih dari 5 ribu orang terluka akibat banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ratusan ribu warga mengungsi terutama di Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara, sementara ribuan rumah hancur, fasilitas publik lumpuh, dan akses transportasi terganggu. Skala dampak yang besar ini membuat penanganan harus dilakukan secara cepat, terkoordinasi, dan didukung lintas institusi.
Di tengah situasi darurat yang menuntut kehadiran negara secara cepat dan konkret, prinsip tersebut mengingatkan bahwa BUMN bukan semata entitas korporasi yang bekerja berdasarkan logika bisnis, melainkan instrumen publik yang wajib hadir ketika masyarakat berada dalam kondisi paling rentan.
Dalam konteks bencana, bantuan tidak boleh diperlakukan sebagai aktivitas sukarela, melainkan bagian dari tanggung jawab struktural lembaga negara yang dibangun dengan dana publik.
Karena itu, berbagai BUMN segera mengoptimalkan pemanfaatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) untuk pemulihan fasilitas vital seperti jembatan, sekolah, hunian warga, hingga infrastruktur dasar yang rusak.
Dalam rapat koordinasi bersama para pimpinan BUMN di Bandara Internasional Minangkabau (BIM), Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara (BP BUMN) Dony Oskaria menegaskan kembali mandat BUMN sebagai institusi publik.
Bencana, menurutnya, bukan ruang untuk kalkulasi anggaran sempit, tetapi ruang bagi BUMN menunaikan kembali hak publik yang melekat pada keberadaan mereka. Bantuan bukan lagi diposisikan sebagai charity, melainkan bagian dari tanggung jawab struktural perusahaan negara yang dibangun dengan dana publik dan bekerja untuk kesejahteraan publik.
Ia mendorong pemanfaatan TJSL secara optimal bukan untuk program kosmetik, tetapi untuk kebutuhan mendesak seperti jembatan, sekolah, dan fasilitas vital yang luluh lantak diterjang bencana. Pendekatan ini menghadirkan perspektif baru, yaitu pemulihan pascabencana sebagai pemulihan hak warga negara, bukan sekadar proyek sosial BUMN.
Kepanjangan tangan rakyat
Dalam kajian politik ekonomi, posisi BUMN sering diperdebatkan: Apakah ia entitas yang mengejar efisiensi atau perpanjangan tangan negara untuk menjamin kesejahteraan warga? Respons cepat institusi-institusi tersebut pada bencana baru-baru ini menunjukkan jawaban yang tegas—BUMN adalah instrumen publik yang memiliki kewajiban sosial inheren.
Implementasi TJSL menjadi bukti nyata. PT Semen Padang misalnya, telah mengucurkan dana Rp210 juta melalui Semen Padang Peduli Bencana untuk rekonstruksi awal rumah dan infrastruktur warga. Bank BTN menyalurkan Rp300 juta dalam bentuk logistik. Bank BNI mengalokasikan Rp700 juta untuk pemulihan ekonomi dan sosial masyarakat Sumatera Barat.
Ini menunjukkan bahwa ketika TJSL diposisikan sebagai instrumen pemulihan hak warga negara, bukan sekadar program kosmetik, maka manfaat publik tercipta secara langsung dan terukur.
Public value creation
Respons cepat BUMN dalam memulihkan jaringan listrik, komunikasi, pasokan energi, hingga rekonstruksi infrastruktur vital mencerminkan pergeseran paradigma dari orientasi profit menuju public value creation.
Dalam banyak kasus, lembaga negara sering terjebak dalam logika korporatis yang menempatkan keuntungan dan laporan kinerja sebagai orientasi utama. Namun dalam konteks bencana, legitimasi institusi publik dibangun dari kemampuan mereka menghadirkan nilai nyata bagi masyarakat.
Dalam kerangka public value creation, nilai publik diciptakan ketika kebijakan, sumber daya, dan tindakan lembaga negara menghasilkan manfaat nyata yang meningkatkan rasa aman, keberlangsungan hidup, dan kualitas kesejahteraan warga. Bukan laba, bukan dividen, bukan performa finansial, tetapi nilai yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dalam situasi bencana Sumatera, BUMN menunjukkan bahwa mereka adalah produsen nilai publik tersebut. Semen Padang bergerak cepat dalam pembangunan infrastruktur rusak, begitu pun PLN dalam memulihkan jaringan listrik di titik-titik kritis, Telkom menormalkan konektivitas yang memungkinkan warga saling berhubungan, BUMN konstruksi memperbaiki infrastruktur vital yang rusak.
Mengembalikan mandat sosial
Dalam krisis multidimensi seperti bencana banjir, legitimasi negara diuji. Begitu pula legitimasi BUMN sebagai kepanjangan tangan negara. Respons koordinatif dan terukur BUMN menunjukkan bahwa institusi-institusi ini mampu kembali pada mandat publiknya yaitu melayani rakyat secara langsung dan substantif.
Pendekatan ini sekaligus menjadi koreksi ideologis terhadap kecenderungan melihat BUMN sebagai entitas korporasi semata. Identitas BUMN sebagai milik rakyat memperjelas bahwa mereka tidak boleh berjalan paralel atau bahkan terpisah dari kebutuhan warga, melainkan harus hadir pada titik-titik paling genting.
Apresiasi terhadap respons BUMN dalam bencana kali ini bukan pada sosok tertentu, melainkan pada kemampuan institusinya untuk menegakkan kembali prinsip dasar bahwa BUMN adalah milik rakyat Indonesia. Ketika prinsip tersebut dioperasionalkan secara nyata, negara tidak hanya hadir melalui kebijakan, tetapi melalui tindakan langsung yang menyentuh kebutuhan rakyat pada momen paling kritis.