Menteri PPPA tegaskan perundungan antar anak berbahaya bagi korban maupun pelaku
Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menyampaikan duka cita mendalam atas meninggalnya seorang siswa berusia 13 tahun akibat kasus perundungan antar pelajar di SMP Negeri 12 Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.
Menteri PPPA menegaskan, penanganan kasus ini harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak dan keadilan restoratif, mengingat pelaku masih berusia anak.
“Kami menyampaikan duka yang mendalam atas peristiwa ini. Anak yang berkonflik dengan hukum (AKH) telah diamankan oleh pihak kepolisian. Selama menjalani proses penyidikan AKH akan dalam perlindungan UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat,” kata Menteri PPPA dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (7/10/2025).
Untuk sementara, anak tersebut ditempatkan di Rumah Penampungan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Pesisir Barat. “Tujuannya agar tetap mendapatkan perlindungan dan pendampingan yang sesuai amanat perundang-undangan,” tambahnya.
Kemen PPPA melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Pesisir Barat bersama DP3AKB setempat dan UPTD PPA Provinsi Lampung terus berkoordinasi dengan pihak kepolisian, sekolah, serta aparat desa.
Koordinasi ini dilakukan untuk memastikan seluruh proses hukum sesuai dengan ketentuan Sistem Peradilan Pidana Anak dan perlu memastikan perlindungan dan memberikan layanan terhadap AKH berjalan sesuai kebutuhan.
UPTD juga memfasilitasi agar pelaku tetap dapat hak dasar untuk belajar selama berada di rumah aman, termasuk dapat mengikuti ulangan. “UPTD PPA Kabupaten Pesisir Barat telah melakukan berbagai langkah cepat dalam penanganan kasus ini,” ungkap Menteri PPPA.
Layanan yang diberikan, lanjutnya, meliputi penerimaan pengaduan, pendampingan saat medikolegal dan pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), serta penguatan psikologis baik bagi AKH maupun keluarga korban.
“Selain itu, UPTD juga melakukan koordinasi intensif dengan pihak sekolah dan aparat di wilayah desa untuk memastikan pemulihan berjalan sesuai prinsip perlindungan anak,” imbuhnya.
Secara hukum, AKH diduga telah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan anak meninggal dunia dapat di jerat pasal 80 Ayat (3) jo. 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
AKH juga dapat dikenakan pasal 351 ayat (3) KUHP terkait tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Mengingat masih berusia anak untuk proses hukumnya wajib mempedomani UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan PP Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun.
Penulis: Sri Lestari/Ter