Next Indonesia nilai perlu perluasan jargas untuk tekan subsidi LPG
Pekerja memeriksa pipa minyak booster station 27 milik PT Pertamina Gas Operation Central Sumatera Area (OCSA), Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (19/9/2025). PT Pertamina Gas Operation Central Sumatera Area (OCSA) melalui Distrik Palembang mengoperasikan Booster Station KM 27 yang berfungsi menjaga kelancaran operasional sekaligus kehandalan penyaluran minyak mentah. Fasilitas ini merupakan salah satu dari enam booster station yang dikelola Pertamina Gas OCSA. Melalui jaringan pipa sepanjang 263 km yang membentang dari Tempino (Provinsi Jambi) hingga Sei Gerong (Provinsi Sumatera Selatan), Pertagas OCSA berperan vital dalam menyalurkan minyak mentah dengan volume 10.000-15.000 barel per hari (BOPD). Minyak mentah tersebut dialirkan untuk kebutuhan kilang pengolahan serta mendukung ketahanan energi nasional. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)
Direktur Eksekutif Next Indonesia Center Christiantoko menilai perlu perluasan jaringan gas (jargas) dan reformasi mekanisme subsidi untuk mengurangi beban subsidi LPG.
“Memperluas jaringan gas serta mereformasi mekanisme subsidi menjadi lebih tepat sasaran merupakan langkah penting untuk keluar dari jebakan ‘pukulan ganda’,” ucap Christiantoko, dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Minggu.
Christiantoko menyampaikan Pemerintah Indonesia saat ini menderita pukulan ganda dalam upaya menyediakan LPG yang terjangkau untuk masyarakat. Subsidi LPG 3 kg, tutur dia, terus naik dan sempat melampaui Rp100 triliun pada 2022, seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang membutuhkan LPG 3 kg. Sementara itu, biaya impor LPG 3 kg juga terus naik.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Next Indonesia Center melalui situs Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai subsidi LPG 3 kg sebesar Rp32,8 triliun pada 2020; naik menjadi Rp67,6 triliun pada 2021; lalu meroket hingga Rp100,4 triliun pada 2022; turun ke angka Rp74,3 triliun pada 2023; sebelum naik lagi ke Rp80,2 triliun pada 2024.
Pukulan kedua datang dari nilai impor gas yang juga fluktuatif, yakni dari Rp37,6 triliun pada 2020; naik menjadi Rp58,6 triliun (2021); lalu Rp72,7 triliun (2022); turun menjadi Rp56,1 triliun (2023); dan kembali naik menjadi Rp60,3 triliun (2024).
Oleh karena itu, Christiantoko menyampaikan perlunya perluasan jaringan gas dan mereformasi mekanisme subsidi untuk mengurangi beban subsidi LPG. Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp8,55 triliun untuk tambahan pembangunan jaringan gas rumah tangga hingga eksplorasi batu bara.
Di sisi lain, data penerima subsidi LPG masih dimatangkan. Pematangan data penerima subsidi itu sudah disiapkan sejak awal 2025. Pematangan data serupa juga berlaku untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM). Data penerima subsidi tersebut bersumber dari data Kementerian Sosial, PLN, Pertamina, dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah memutuskan untuk menyatukan data tersebut melalui BPS.
Selain perluasan jargas dan reformasi mekanisme subsidi, Christiantoko juga mendorong investasi infrastruktur LPG dan peningkatan produksi domestik.
“Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi perdagangan gas agar selisih data impor/ekspor tidak menjadi celah bagi illicit financial flow,” kata dia.