Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR disahkan, SPI: Harus tuntas, jangan seperti sebelumnya

Update: 2025-10-03 10:15 GMT

Pimpinan DPR RI audiensi dengan masyarakat membahas Reformasi Agraria

DPR RI resmi mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria dalam rapat paripurna ke-6 masa persidangan I tahun sidang 2025–2026, Kamis (2/10/2025) kemarin. Pansus yang beranggotakan 31 anggota dari 8 fraksi ini merupakan tindak lanjut dari tuntutan aksi Hari Tani Nasional, 24 September lalu.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menegaskan pembentukan Pansus sangat penting demi memastikan jalannya penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria yang sudah menjadi program pemerintah. Namun, ia menyoroti bahwa hingga kini Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria belum dijalankan secara konsisten.

“Pansus ini harus betul-betul melibatkan petani sebagai korban sekaligus subyek penerima manfaat reforma agraria. DPR dengan ini ada 30 anggota yang terdiri dari berbagai komisi, harus sungguh-sungguh, memang mengikuti, menginvestigasi kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh Pemerintah. Bahkan perlu sampai melihat ke lokasi-lokasi yang menjadi konflik yang kami hadapi,” kata Henry, saat diwawancara dalam Elshinta News and Talk edisi siang, Jumat (3/10/2025).

SPI mencatat, hingga 2025 terdapat konflik agraria yang melibatkan lebih dari 118 ribu kepala keluarga, dengan luas lahan mencapai 537 ribu hectare lebih. Konflik ini melibatkan berbagai pihak mulai dari perusahaan perkebunan, kehutanan, hingga institusi negara.

Henry menegaskan akar masalah terletak pada ketidakadilan agraria. Tanah yang seharusnya didistribusikan kepada rakyat justru dikuasai korporasi. Bahkan ada kasus perampasan kembali tanah yang sudah diberikan kepada petani. Ia juga menyoroti peran aparat negara yang kerap berpihak kepada perusahaan.

“Yang kita lihat temuan-temuan di lapangan, aparatur pemerintah, baik pun ATR bahkan melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan menjalankan Undang-Undang yang tidak sesuai. Justru berpihak melindungi pihak-pihak korporasi. Misalnya BPN sampai hari ini tidak membukakan ke publik kapan berakhirnya HGU perusahaan tersebut,” kata Henry kepada Telni Rusmitantri, news anchor Elshinta.

“Yang kedua, Pemerintah tidak membuka informasi sejauh mana perusahaan itu mentaati hukum, misalnya luas HGU-nya. Yang ketiga, Pemerintah terus saja memperpanjang HGU di suatu daerah padahal di situ sudah dibutuhkan oleh rakyat untuk kehidupan pertanian maupun kebutuhan untuk pangannya,” tambahnya.

Selain itu, lanjut Henry, SPI menekankan pentingnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat yang sering diabaikan. Henry juga meminta Pansus menekan Pemerintah agar menghentikan kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani dalam konflik agraria.

“Pansus ini jangan seperti sebelumnya yang tidak tuntas. DPR harus tegas memberi peringatan kepada Pemerintah agar menjalankan undang-undang, menyelesaikan konflik agraria, dan melaksanakan reforma agraria sejati,” tegas Henry.

SPI berkomitmen mengawal kinerja Pansus, seraya menekankan bahwa persoalan agraria bukan hanya milik petani di desa, melainkan juga masyarakat perkotaan yang semakin sulit mengakses tanah untuk perumahan dan pemukiman.

Penulis: Sukma Salsabila/Ter

Similar News