Pengamat sebut krisis ekonomi Media jadi faktor utama lemahnya kritik pers di Indonesia
Pengamat media, Surya Aka
Pengamat media massa Surya Aka menilai melemahnya kritik media terhadap Pemerintah belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi pers yang semakin terpuruk dalam satu dekade terakhir.
Hal itu ia sampaikan dalam wawancara bersama Radio Elshinta Edisi Siang, Senin (17/11/2025). Kepada News Anchor Silvy Nur Sakinah, Surya Aka menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudha Sadewa yang sehari sebelumnya menyebut dunia pers kini lebih banyak 'mingkem' atau memilih diam dan tidak berani mengkritik Pemerintah.
Surya menjelaskan bahwa istilah mingkem, dalam Bahasa Jawa memiliki makna diam. Menurutnya, fenomena ini memang terasa di kalangan jurnalis, meskipun tidak selalu tampak secara hukum. “Mingkem ini ada dua, diam karena dipaksa diam atau diam menahan diri,” ujarnya.
Ia menilai kritik Purbaya patut diapresiasi karena menggugah dunia pers untuk berkaca. “Ini kritik yang bagus. Karena memang kita merasakan mingkem, nggak bisa teriak, nggak bisa kritik,” katanya.
Surya memaparkan bahwa faktor terbesar yang melemahkan daya kritis media adalah menurunnya kondisi ekonomi industri pers sejak derasnya serbuan media sosial. Ia mencatat bahwa sejak 2015, iklan yang menjadi penopang utama media cetak dan online telah beralih ke platform digital global.
“Iklan-iklan sudah tidak lagi ke koran-koran terkemuka. Semuanya lari ke YouTube, Google, Meta,” ungkapnya.
Kondisi ini membuat banyak media daerah gulung tikar, sementara media yang bertahan harus mengurangi karyawan hingga kehilangan jurnalis berkualitas.
Selain faktor ekonomi, Surya menyebut efek politik Pemilu 2014–2024 ikut memperburuk ruang kritik. Ia menyoroti maraknya buzzer politik yang terus aktif meski pemilu telah usai, mengambil alih ruang informasi yang semestinya diisi media.
“Buzzer-buzzer ini tidak hanya memenangkan kandidat, tapi pasca pemilu juga masih berjalan. Mereka menyampaikan informasi tidak lewat media mainstream,” terangnya.
Surya menyebut ancaman hukum terhadap jurnalis juga meningkat. Ia menegaskan bahwa kecenderungan pejabat atau pihak tertentu yang mudah melaporkan media berkontribusi pada tumbuhnya rasa takut di ruang redaksi.
“Sedikit-sedikit laporan polisi, sedikit-sedikit jurnalisnya dipanggil. Itu yang membuat kehati-hatian menjadi tinggi,” ujarnya.
Ia mencontohkan gugatan ratusan miliar rupiah terhadap salah satu media nasional sebagai bukti bahwa tekanan makin nyata.
Meski demikian, Surya menegaskan bahwa hubungan media dan pemerintah tetap harus dijaga dalam koridor profesional.
“Kita tidak boleh memusuhi Pemerintah, tapi juga tidak boleh menjadi corong pemerintah,” jelasnya.
Ia menilai kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers sebenarnya sudah cukup melindungi, asalkan media tetap konsisten menjalankannya. “Kalau kode etik kita pegang, sebenarnya tidak perlu takut,” tambahnya.
Surya juga mengapresiasi usulan Menkeu agar pemerintah meringankan pajak bagi media yang resmi terdaftar dan membayar kewajiban fiskalnya. Menurutnya, kebijakan seperti itu sangat dibutuhkan di tengah kondisi industri pers yang disebutnya “hidup mati”.
“Kehidupan pers itu lagi sulit-sulitnya sekarang. Ini isu yang menarik dan perlu didorong,” kata Surya.
Ia juga menyoroti tantangan regenerasi jurnalis di tengah melemahnya kondisi finansial media. Surya menilai kemampuan analitis jurnalis muda kian berkurang karena tidak mendapatkan ruang pembinaan yang baik.
“Kalau generasi baru terputus dari generasi lama yang kuat idealismenya, mereka hanya menulis berita biasa tanpa analisis,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan apakah publik masih peduli pada jurnalisme kritis, Surya menyebut masyarakat tetap membutuhkan berita berimbang, meskipun konten cepat di media sosial kini lebih mendominasi.
Ia mengingatkan bahwa kebebasan pers belum sepenuhnya berjalan optimal karena banyak jurnalis berpengalaman sudah pensiun, sementara pendatang baru masih membangun kemampuan.
“Banyak media yang masih punya dedikasi tinggi, tapi ketakutan publik dan situasi hukum yang galak membuat ruang kritik menyempit,” katanya.
Surya menutup dengan ajakan agar seluruh pemangku kepentingan pemerintah, media, sektor swasta, dan masyarakat bersama-sama memperbaiki ekosistem pers nasional. “Ini tugas bersama. Apakah media bisa dikembalikan ke idealismenya? Itu tergantung kita semua,” ujarnya.
Penulis: Dedy Ramadhany/Ter