Pengamat sebut rencana TNI laporkan Ferry Irwandi akan picu masalah baru
Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) TNI, Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI Juinta Omboh (J.O) Sembiring saat memberikan keterangan pers di Mapolda Metro Jaya Senin 8/9/2025 (Foto : Radio Elshinta Eddy Suroso)
Pengamat Militer Universitas Padjadjaran (UNPAD), Prof. Muradi, menanggapi langkah empat jenderal TNI yang berkonsultasi hukum ke Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya terkait dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi. Ia menilai, langkah ini bisa menimbulkan persoalan baru bila dilakukan secara terbuka.
Dalam wawancara bersama Radio Elshinta(11/09/2025), Prof Muradi menyebutkan bahwa terdapat tiga hal krusial yang perlu diperhatikan dalam kasus ini.
“Yang pertama, pertanyaannya sederhana: apakah teman-teman TNI benar-benar berniat memproses hukum Ferry? Jika iya, maka prosesnya seharusnya tidak dilakukan secara terbuka,” ujar Muradi.
Ia menjelaskan, apabila TNI memang memiliki data temuan yang mengarah pada dugaan tindak pidana, maka sebaiknya data tersebut diserahkan secara tertutup kepada pihak kepolisian agar dapat diproses secara hukum sesuai prosedur yang berlaku.
Hal kedua yang menjadi perhatian Prof Muradi adalah kecenderungan TNI untuk menunjukkan keunggulan teknologinya dalam kasus ini.
“Memang terlihat ada niatan dari TNI untuk show off, bahwa alat atau perangkat yang mereka miliki lebih canggih dibanding aparat penegak hukum lainnya,” katanya.
Namun, lanjutnya, hal ini justru bisa menciptakan persepsi negatif terhadap institusi, apalagi bila langkah-langkah hukum dilakukan di ruang publik, bukan melalui mekanisme koordinasi internal antar-lembaga.
Menurut Prof Muradi, perlu ada kejelasan mengenai substansi tuduhan Ferry Irwandi. Apakah data yang disampaikan Ferry mengandung kebenaran atau tidak, menjadi titik penting yang harus diuji terlebih dahulu.
“Kalau memang Ferry punya data yang benar, maka lebih baik dilakukan uji kebenaran melalui mekanisme sharing data antara TNI dan Polri. Jangan langsung dibuka ke publik tanpa konfirmasi yang matang,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa praktik data sharing antar aparat seperti TNI, Polri, BIN, dan BAIS sudah lumrah, terutama dalam kasus-kasus seperti makar dan terorisme.
“Contohnya kemarin dalam penanganan kasus makar dan terorisme, ada sharing data antara BAIS dengan BIN. Mekanisme seperti ini seharusnya juga bisa diterapkan dalam kasus Ferry Irwandi,” lanjutnya.
Prof Muradi juga mengingatkan bahwa menjadikan pencemaran nama baik sebagai pasal utama dalam pelaporan bisa menjadi blunder. Ia menyarankan agar pendekatan hukum difokuskan pada apakah ada dugaan Ferry menggerakkan aksi unjuk rasa yang berpotensi menimbulkan kerusuhan.
“Kalau hanya unjuk rasa biasa, ya tidak ada masalah. Tapi jika sampai ada indikasi kerusuhan atau penjarahan, barulah masuk ke ranah pidana serius. Dan itu tentu menjadi wewenang polisi, bukan TNI,” jelasnya.
Prof Muradi juga mempertanyakan alasan dibalik pendekatan terbuka yang dilakukan TNI dalam konsultasi hukum ini.
“Kalau memang tujuannya memproses Ferry secara hukum, kenapa harus terbuka? Kenapa tidak melalui jalur tertutup dan koordinasi? Apakah ini hanya ingin memberi kesan bahwa Ferry sedang disasar untuk membuktikan tuduhannya?” pungkasnya.
Deddy Rahmadani