Pengiat Medsos Mazdjo Pray: Sertifikasi influencer bisa jadi kebijakan anti kreatif

Update: 2025-11-05 06:48 GMT

Pegiat media sosial Mazdjo Pray atau akrab disapa Mas Jo menilai rencana Pemerintah menerapkan sertifikasi bagi influencer dan pembuat konten merupakan langkah yang justru berpotensi menghambat kreativitas dan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital.

Dalam wawancara di Radio Elshinta Edisi Pagi, Rabu (5/11/2025) Mazdjo mengatakan wacana sertifikasi yang digulirkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) ini sebaiknya tidak diwajibkan. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat menciptakan ‘ilusi kepakaran’ yang menyesatkan publik.

“Kalau sertifikasi ini diwajibkan, nanti akan muncul yang saya sebut ‘birokrasi teater’. Workshop dua jam, tanda tangan tiga lembar, selfie sama spanduk, lalu pulang bawa map. Tapi kepercayaan publik nggak naik,” katanya kepada News Anchor Asrofi.

Mazdjo menilai, masalah utama dunia digital bukan kurangnya sertifikat, tapi kurangnya kejujuran dan transparansi. Ia mencontohkan, kreator seharusnya secara jelas mencantumkan label iklan saat sedang melakukan promosi berbayar agar publik tidak merasa ditipu.

“Yang publik butuh itu disklosur yang jelas. Kalau memang kontennya iklan, tulis sejak awal. Jangan diselipkan di ujung caption,” tegasnya.

Menurut Mazdjo, sertifikasi justru bisa mematikan ekosistem kreator kecil yang selama ini tumbuh karena hambatan masuknya rendah. Ia khawatir kebijakan tersebut hanya akan menguntungkan agensi besar atau buzzer profesional yang memiliki modal besar.

“Masalah kita bukan kurang sertifikat, tapi kurang jujur. Kalau dikasih palang, yang lewat tinggal agensi besar. Kreator kecil bisa mati di awal,” jelasnya.

Lebih jauh, Mazdjo mengingatkan bahwa sertifikasi tidak otomatis meningkatkan kualitas atau etika konten. Ia menyebut sertifikat hanyalah stiker simbolik yang rawan disalahgunakan.

“Begitu sertifikat jadi tiket, akan lahir pasar gelap. Bisa muncul kursus kilat, lulus cepat, bayar beres. Jadi bukan standar yang naik, tapi tarif,” katanya.

Mazdjo juga menyoroti potensi penyalahgunaan sertifikasi sebagai alat pembatas opini publik. Ia menganggap kebijakan itu bisa membuka jalan menuju pembungkaman politik di ruang digital.

“Begitu opini politik butuh lisensi, besok lusa lisensinya bisa dicabut kalau opininya mengganggu stabilitas. Ini selangkah ke arah otoritarian,” ujarnya mengingatkan.

Alih-alih sertifikasi, Mazdjo menyarankan pemerintah fokus pada pendidikan literasi digital, perlindungan anak, serta penegakan aturan transparansi iklan dan klaim kesehatan.

“Yang dibutuhkan itu literasi, bukan sertifikasi. Pemerintah wajib menyediakan akses edukasi yang mudah dan memperkuat sanksi untuk klaim menyesatkan,” kata Mazdjo.

Ia menambahkan, negara sebaiknya tidak mengatur selera publik atau menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh berbicara di media sosial.

“Biarkan pasar yang memberi premi, bukan negara yang memberi palang. Jangan hitam-putihkan opini masyarakat,” pungkasnya.

Sebagai penutup, Mazdjo menegaskan bahwa sertifikasi boleh saja diterapkan, tetapi harus bersifat sukarela dan tidak menjadi syarat untuk berkarya.

“Kalau mau sertifikasi ya silakan, tapi jangan diwajibkan. Biarkan jadi pilihan, bukan kewajiban. Kreativitas nggak bisa disertifikasi,” tutupnya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Similar News