Pesta Rambu Solo, perekat regenerasi
Proses Ma'bule Tomate atau mengangkat jenazah ke Lakkian (tongkonan orang meninggal) pada Pesta Rambu Solo di Toraja Utara, Sulsel. ANTARA/Nur Suhra Wardyah (B)
Teriakan puluhan anak muda itu bergema, bersahut-sahutan memecah keheningan, saat mereka melakukan tradisi Ma'pasonglo (mendorong) jenazah dalam tongkonan kecil, dalam upacara kematian, budaya masyarakat Suku Toraja.
Berbahasa khas Toraja, gema teriakan itu mengisyaratkan kobaran semangat untuk mendorong dan sesekali mengangkat jenazah Almarhumah Dortje Tandi Kalo' menuju Tongkonan Lele Lemba, Ba'tan, Toraja Utara, untuk proses Pesta Rambu Solo, pada 16 Desember 2025.
Teriakan itu kadang bermakna sara', kasar, hingga penuh jenaka, namun ampuh membakar semangat muda-mudi yang mengarak jenazah menuju tempat peristirahatannya. Medannya terbilang tidak mudah, harus melalui jalan bebatuan, menanjak, hingga penuh lumpur. Syukurnya, berhasil mereka lalui.
Tradisi Toraja ini terbilang unik, sebab dalam kalimat-kalimat umpatan itu, tak seorang pun boleh tersinggung, apalagi marah, sehingga tak jarang pejabat menjadi target roasting para muda-mudi itu. Pesta Rambu Solo memang dikenal sebagai budaya yang menyatukan, sarat dengan solidaritas, dan penuh dengan kekerabatan.
Pesta Rambu Solo sebagai budaya khas masyarakat Suku Toraja tidak hanya menjadi simbol perayaan upacara kematian, namun menjadi perekat antargenerasi bagi keluarga yang ditinggalkan. Seperti keluarga dan keturunan almarhumah Dortje Tandi Kalo' yang telah berkumpul menyemai kehangatan balutan kasih keluarga di Kecamatan Sanggalangi, Kabupaten Toraja Utara.
Mereka sengaja meluangkan waktu untuk menghadiri rangkaian Pesta Rambu Solo, tradisi mengantar jenazah orang yang meninggal ke alam baka sebagai bentuk penghormatan terakhir. Semua perantau yang masih menjadi keturunan nenek Dortje, sapaan Dortje Tandi Kalo', mulai dari Kalimantan, Pulau Jawa, dan lainnya, sengaja hadir mengikuti pesta Rambu Solo, demi mendiang nenek kelahiran 1931 itu.
Salah satunya ialah Novi Cristina, cucu Nenek Dortje yang telah merantau selama 12 tahun ke Tarakan, Kalimantan Utara. Dia harus kembali ke kampung halamannya untuk mengikuti Pesta Rambu Solo yang tahapannya berlangsung sejak 11-19 Desember.
"Kita berkumpul semua dan mengusahakan bisa datang ikut acaranya, lalu menghitung hari dengan orang terkasih," kata Novi.
Jauh dari kampung halaman dan telah merantau belasan tahun, Novi tetap memegang teguh tradisi masyarakat Toraja, salah satunya dengan hadir langsung pada upacara adat pemakaman sang nenek tercinta.
Penuh kebersamaan
Berbagai rangkaian Pesta Rambu Solo dibalut kasih, kekompakan, penuh kebersamaan menjadi akrab di mata pengunjung. Pemandangan ramah, gotong royong dan kebersamaan oleh para keturunan, keluarga, kerabat, hingga sahabat pada setiap fase Pesta Rambu Solo memanjakan mata pengunjung yang telah jarang ditemui di tengah kota.
Kendati diselimuti kehilangan anggota keluarga, solidaritas inilah yang menjadi penguat bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kompak Ma'bule Tomate atau mengangkat jenazah ke Lakkian (tongkonan orang meninggal) menjadi pemandangan mahal di era individualis saat ini, sementara budaya gotong royong menjadi kekuatan utama dan sangat penting yang terus dijunjung tinggi masyarakat Toraja.
Diakui Novi, tradisi masyarakat Toraja adalah identitas yang harus terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Bagi perempuan berusia 42 tahun ini, Pesta Rambu Solo merupakan sebuah budaya, dengan beragam makna dan nilai luhur dalam berkeluarga, bersaudara, dan berkerabat. Ini pun dianggapnya lebih mahal dibanding uang yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah untuk menggelar satu kali acara Rambu Solo.
Dari delapan orang anak Nenek Dortje, setidaknya harus menyiapkan minimal 24 ekor kerbau (tedong). Babi juga menjadi hewan yang banyak dipotong dengan jumlah puluhan ekor, hingga seratusan ekor, hanya saja hewan ini tidak bermakna besar dalam prosesi Rambu Solo.
Lebih dari itu, persiapan Pesta Rambu Solo juga tidak kalah menghabiskan uang, waktu, tenaga dan pikiran. Apalagi untuk pemotongan kerbau yang harga satuannya bisa mencapai puluhan, hingga ratusan juta rupiah per ekor. Persiapan Pesta Rambu Solo ini digelar sejak September, melibatkan sedikitnya 100 orang untuk membangun lantang atau pondok menerima tamu, para keturunan serta kerabat almarhumah.
Lantang merupakan sebuah tempat yang wajib ada ketika akan dilaksanakan prosesi pemakaman bagi masyarakat Toraja. Pondok ini akan menjadi tempat berkumpulnya para keluarga selama rangkaian Pesta Rambu Solo, termasuk untuk tidur dan makan.
"Tidak ada kata rugi menggelar pesta Rambu Solo, sebab harta yang dikeluarkan itu akan tergantikan dengan jumlah yang lebih besar", ungkapan inilah yang selalu terngiang di telinga Novi dan dipercaya masyarakat lainnya, hingga saat ini.
Apalagi kepercayaan itu telah ditanamkan sejak dulu oleh leluhur masyarakat Toraja kepada para keturunannya, termasuk sejauh apapun mereka merantau, tetap akan kembali ke kampung halamannya.
"Kata tetua kami, jangan takut dengan biaya atau uang yang dikeluarkan, karena ada saja rezeki dan memang betul, itu terbukti karena pesta Rambu Solo ini syukurnya terlaksana," ujar Novi.
Berbagai prosesi pun mengikuti pelaksanaan Pesta Rambu Solo, mulai dari ma'pasonglo (mengangkat jenazah dari rumah duka ke tempat upacara Rambu Solo), menerima tamu, a'pasigala tedong (pertarungan kerbau) beribadah, dan lainnya.
Nenek Dortje yang meninggal pada November 2024, mengukir kesedihan bagi para anak dan cucu-cucunya, karena dianggap menjadi simbol keteguhan keluarga dengan karakter tegasnya, namun selalu dibalut kasih sayang.
Chomaco Madethen Sampebulu' yang juga cucu dari anak kelima Nenek Dortje, mengenang almarhumah sebagai kekuatan solidaritas keluarga. Panggilan "Mama Kos", bahkan disematkan pada nenek yang tutup usia di umur 93 tahun itu, lantaran semasa hidup sering tinggal bersama cucu-cucunya yang sekolah di Rantepao, ibu kota Toraja Utara.
Penuh motivasi dan pantang menyerah menjadi karakter yang banyak dipelajari Choms, sapaan Chomaco, dari neneknya, sehingga pesta kematian Nenek Dortje menjadi momen kehilangan yang luar biasa bagi keluarga. Semua sanak famili telah melakukan kesepakatan untuk bersama-sama meluangkan waktu agar bisa menghadiri Pesta Rambo Solo, dan memastikan semua kebutuhan pesta terpenuhi.
Choms sengaja mengambil cuti atas pekerjaannya di Kota Malang, Jawa Timur, demi menghadiri pesta pemakaman sang nenek, sekaligus merayakan Natal di kampung halaman.
Baginya, Pesta Rambu Solo menjadi simbol solidaritas keluarga dan mempererat kekerabatan. Kendati pesta pemakaman ini tidak menjadi sebuah kewajiban, namun dipercaya bahwa nilai adat dan tradisi yang terus dilestarikan merupakan warisan nenek moyang yang harus tetap dijaga.
Masyarakat Sulsel yang kental dengan semboyan "siri' na pacce" (harga diri dan peduli) tidak lekang termakan zaman pada masyarakat suku Toraja. Pesta Rambu Solo yang terus digelar menjadi bukti semboyan ini tetap dijaga.
Tidak wajib digelar, namun masyarakat keturunan Toraja menganggap upacara adat kematian merupakan nilai harga diri dari setiap marga keluarga, termasuk pada pemotongan jenis kerbau yang nilainya berbeda-beda dan ini dipercaya sebagai bekal almarhum di kehidupan selanjutnya.
Mati untuk hidup
Bagi masyarakat Suku Toraja, mengembuskan nafas terakhir seorang keluarga tidak lantas dianggap meninggal atau mati. Mereka dipercaya memulai kehidupan yang baru, namun semuanya harus melalui Pesta Rambu Solo.
Rambu Solo tetap teguh digelar sebagai upacara adat pemakaman oleh keluarga yang ditinggalkan untuk mengenang kebersamaan, kebaikan, hingga dipercaya menjadi bentuk penghormatan terakhir mengawal arwah keluarga ke kehidupan yang baru.
"Ini memang bagian dari kehidupan orang Toraja. Kami melihat kematian sebagai sebuah keabadian," kata Bupati Toraja Utara Frederik Victor Palimbong, memaknai pentingnya Pesta Rambu Solo bagi Suku Toraja.
"Hidup setelah kematian" menjadi ungkapan kepercayaan warga Toraja, sehingga pesta Rambu Solo dianggap merayakan kehidupan, mengantarkan jenazah menuju kehidupan baru yang kekal nan abadi.
Tradisi ini pula yang menarik minat wisatawan domestik, hingga mancanegara, menjajal sudut-sudut area wisata dan mengantarkan Toraja dikenal hingga mancanegara. Frederik pun berkisah, beberapa waktu lalu bertemu dengan Duta Besar Maroko yang mengakui keindahan adat dan budaya Toraja.
Duta besar itu pun bercerita bahwa pernah bertanya ke orang tuanya perihal tempat indah nan unik mana yang harus dikunjungi, dan seketika mereka menyebut "Toraja".
"Banyak yang bangga dan terkesan dengan budaya kami, karena melihat kematian sesuatu yang sakral menuju keabadian," kata Frederik.
Pemerintah setempat juga terus mendorong edukasi pelestarian budaya melalui penguatan keluarga agar regenerasi bisa memahami makna setiap budaya yang ada di Tanah Toraja, termasuk menjaga situs budaya, seperti rumah tongkonan.


