Prof Hanif Nurcholis: Pola pikir teknis birokrasi jadi sebab uang mengendap di daerah
Prof.Dr.Hanif Nurcholis, M.Si, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Pemerintahan Daerah dan Desa Universitas Terbuka Jakarta
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Pemerintahan Daerah dan Desa Universitas Terbuka Jakarta, Prof. Dr. Hanif Nurcholis, M.Si, menilai kebiasaan Pemerintah Daerah memarkir dana di bank bukan hanya karena motif keuntungan, melainkan akibat lemahnya desain otonomi daerah dan pola pikir birokrasi yang terlalu teknokratis.
Dalam wawancara Elshinta News and Talk edisi pagi, Jumat (24/10/2025), Prof. Hanif menjelaskan bahwa fenomena dana mengendap di kas daerah berakar pada pendekatan fiskal yang timpang antarwilayah.
“Banyak daerah yang tidak memiliki sumber daya alam cukup akhirnya mengandalkan dana transfer dari pusat. Karena terbatas, mereka mencari cara mudah mendapatkan tambahan dengan menyimpan dana di bank demi bunga yang sebenarnya kecil,” ujar Prof. Hanif dalam perbincangan bersama News Anchor Asrofi.
Ia menyebut praktik tersebut mencerminkan cara berpikir sempit sebagian pejabat daerah. Menurutnya, margin bunga simpanan yang kecil tidak sebanding dengan potensi hilangnya manfaat publik dari dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan.
Lebih lanjut, Prof. Hanif menyoroti kasus Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang disebut masih memiliki dana mengendap hingga Rp14 triliun. Kondisi ini, katanya, justru menjadi anomali karena Jakarta memiliki kapasitas fiskal yang tinggi.
“Jakarta tidak seharusnya memarkir uangnya. Ketika dana APBD sudah tersedia, itu hak warga negara untuk menerima manfaatnya melalui pembangunan dan pelayanan publik,” tegasnya.
Prof. Hanif menilai akar persoalan terletak pada pola pikir teknokratis pejabat daerah yang hanya fokus pada proyek dan pelaporan administratif tanpa melihat dampak nyata terhadap masyarakat.
“Birokrasi kita sibuk menyiapkan nomenklatur, proyek, kegiatan, dan laporan pertanggungjawaban di atas kertas. Mereka lupa bahwa yang paling penting adalah kualitas dan dampak pelayanan publik,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pelayanan publik seharusnya bukan sekadar urusan perizinan, tetapi mencakup penyediaan barang dan jasa publik seperti jalan, transportasi umum, pendidikan, dan penerangan jalan yang langsung dirasakan masyarakat.
“Public service itu men-deliver barang dan jasa publik kepada rakyat, bukan sekadar membuka mal pelayanan perizinan,” tutupnya.
Penulis: Dedy Ramadhany/Ter