Saat jalan dan jembatan dipacu tuntas

Update: 2025-11-21 00:39 GMT

Ilustrasi - Pekerja melakukan pengaspalan jalan proyek . (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/pras.)

Musim hujan selalu datang membawa cerita yang sama di banyak wilayah kepulauan Indonesia. Sebuah rangkaian kondisi yang terus berulang dengan ruas jalan yang kembali tergerus, jembatan yang melemah dihantam aliran sungai yang tak menentu, serta akses antarpermukiman yang mendadak lumpuh, saat curah hujan meningkat.

Setiap tahun, siklus ini menjadi ujian berulang bagi ketahanan infrastruktur, sekaligus menguji ketangguhan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup pada kelancaran mobilitas harian mereka.

Gambaran umum itu menemukan relevansinya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada musim hujan yang mulai mengintip setiap sudut desa, cerita lama kembali terulang—jalan berlubang yang menganga, jembatan rusak yang menghambat aktivitas warga, dan akses yang tersendat ketika banjir datang tiba-tiba.

Di banyak tempat, situasi tersebut bukan sekadar mengganggu kenyamanan, tetapi memutus denyut ekonomi masyarakat pesisir, petani, dan nelayan. Karena itu, ketika pemerintah provinsi mempercepat pengerjaan sejumlah ruas jalan dan jembatan sepanjang 2025, publik kembali mencermati bagaimana infrastruktur dasar menjadi penentu kualitas hidup.

Pekerjaan jalan dan jembatan bukan hanya urusan beton, drainase, atau progres konstruksi, melainkan fondasi akses kesehatan yang lebih cepat, biaya logistik yang lebih murah, dan perluasan ruang tumbuh ekonomi di daerah kepulauan.

Percepatan ini menjadi penting karena penanganan yang terlambat dapat memicu risiko sosial, seperti keterisolasian, kecelakaan, hingga kerugian ekonomi setiap tahun. Dalam konteks tersebut, percepatan perbaikan jalan dan jembatan di NTB perlu dipahami bukan sebagai proyek biasa, tetapi sebagai strategi pemerataan pembangunan yang bergantung pada konektivitas antarkawasan.

Konektivitas

Percepatan pembangunan infrastruktur di NTB tampak nyata dari serangkaian proyek yang hampir seluruhnya ditargetkan tuntas pada 2025. Salah satu yang penting adalah rekonstruksi ruas Jalan Simpang Tano-Simpang Seteluk di Sumbawa Barat, jalan provinsi yang menghubungkan dua ruas jalan nasional.

Dengan panjang 3,8 kilometer dan anggaran lebih dari Rp32 miliar, pekerjaan ini bukan sekadar memperbaiki lapisan aspal, tetapi mengatasi persoalan drainase yang selama ini memicu banjir di Tambaksari. Masalah drainase memang kerap menjadi akar perusak jalan di NTB. Di lokasi lain, seperti ruas Batu Nyale-Sengkol di Lombok Tengah, kerusakan jalan bertahun-tahun diakibatkan tanah dasar yang labil dan galian pipa air minum yang terlalu dangkal, sehingga fondasi jalan cepat rusak.

Pemprov NTB kemudian mengalokasikan Rp3,9 miliar untuk pemeliharaan berkala agar titik rawan kecelakaan itu dapat segera ditangani. Di Lombok Timur, rekonstruksi ruas Tanjung Geres-Pohgading-Pringgabaya juga menunjukkan pentingnya kehadiran infrastruktur yang menghubungkan kawasan pesisir.

Ruas ini membuka jalur lebih cepat dari Pelabuhan Kayangan menuju Lembar. Jalur tersebut menjadi penopang logistik, budi daya perikanan, dan pariwisata di pesisir timur, sebuah kawasan yang kini disebut sebagai calon kantong ekonomi baru.

Sementara itu di Pulau Sumbawa, percepatan pengerjaan ruas Lenangguar-Lunyuk menjadi penopang utama mobilitas ribuan warga. Bila jalan ini kembali terputus, waktu tempuh dapat melonjak hingga enam jam karena harus memutar lewat Sumbawa Barat.

Dengan anggaran Rp20 miliar lebih, ruas ini menjadi contoh bagaimana infrastruktur dasar berfungsi sebagai jalur penyelamat ekonomi masyarakat terpencil.

Konektivitas antarkawasan tidak berhenti pada jalan raya. Pemerintah pusat melalui Inpres Jalan Daerah (IJD) juga mengakomodasi tiga ruas penting di Kabupaten Sumbawa-Batudulang-Tepal, Tepal-Batu Rotok, dan Lenangguar-Teladan yang sejak puluhan tahun kondisinya memprihatinkan.

Total anggaran yang digelontorkan mencapai ratusan miliar rupiah dengan skema kontrak tahun jamak, menandai keseriusan pemerintah memperbaiki akses di kawasan pegunungan dan sentra pertanian.

Perpaduan pendanaan daerah dan pusat ini menunjukkan bahwa konektivitas di NTB bukan lagi isu pinggiran. Ia menjadi struktur dasar untuk memperkuat ketahanan pangan, layanan publik, dan distribusi ekonomi dalam jangka panjang.

Jembatan vital

Di banyak daerah, jembatan sering kali menjadi satu-satunya simpul yang memastikan akses antarperkampungan tidak terputus. NTB mengalami itu di beberapa lokasi, terutama di wilayah dengan aktivitas sungai yang dinamis.

Jembatan Doro O’o di Bima adalah salah satu contohnya. Kerusakan akibat banjir 2023 dan sedimentasi yang cepat membuat air mudah meluap ke permukiman warga. Dengan progres pengerjaan 35 persen dan anggaran Rp6,2 miliar lebih, perbaikan jembatan ini bukan hanya sekadar mengganti struktur lama, tetapi melindungi permukiman dan area persawahan dari risiko banjir berulang.

Contoh lain terlihat di jembatan Selong Belanak yang rusak akibat banjir 2024. Wilayah ini berada di kawasan pariwisata prioritas Mandalika, sehingga putusnya jembatan berdampak langsung pada arus wisata, transportasi usaha lokal, dan akses bahan pangan.

Pemerintah menggelontorkan anggaran Rp4 miliar untuk mengganti struktur jembatan demi memastikan kelancaran pergerakan masyarakat di jalur Kuta-Selong Belanak.

Di sejumlah titik, kerusakan akibat faktor alam juga memaksa pemerintah bergerak cepat menawarkan solusi sementara. Di Liang Bage, Sumbawa, jalan provinsi tergerus aliran sungai yang membelok akibat penumpukan pasir di muara.

Akses sementara dibangun sejauh 50 meter di atas tanah kebun warga, sembari menunggu normalisasi sungai oleh BPBD. Kasus serupa tampak pada perbaikan tanggul Sungai Tanggek di Lombok Timur yang jebol dan menyebabkan puluhan hektare sawah gagal panen.

Rangkaian kejadian ini memperlihatkan bahwa infrastruktur tidak dapat dipisahkan dari ekologi. Jalan dan jembatan tidak berdiri sendiri; ia berinteraksi dengan sungai, tanah labil, dan pola cuaca. Karena itu, pendekatan pembangunan harus menyatu dengan penataan ruang, pengendalian banjir, dan pemeliharaan rutin yang berkelanjutan.

Menutup kesenjangan

Akselerasi pembangunan infrastruktur NTB sebenarnya menyimpan pesan penting bahwa daerah tidak bisa hanya bergantung pada pola penanganan insidental. Banyak kerusakan jalan dan jembatan yang kembali muncul karena perawatan tidak berkelanjutan, saluran air tersumbat, atau perubahan aliran sungai yang dibiarkan tanpa pengawasan.

Di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan akses yang aman dan nyaman terus meningkat seiring perkembangan ekonomi dan pariwisata.

Di sinilah makna percepatan pembangunan infrastruktur menemukan relevansinya. Ia tidak hanya memperbaiki kondisi fisik yang menua, tetapi sekaligus menata ulang pola pembangunan agar lebih responsif terhadap risiko alam dan kebutuhan sosial.

Jalan yang baik mempercepat distribusi bahan pangan, mengurangi biaya produksi, dan mempermudah layanan kesehatan. Jembatan yang kuat melindungi masyarakat pesisir dari keterisolasian ketika banjir datang tiba-tiba.

Ke depan, NTB membutuhkan strategi jangka panjang yang tidak hanya fokus pada pembangunan jalan baru, tetapi juga menjaga kelestarian sungai, memperbaiki sistem drainase, dan memperkuat kapasitas pemeliharaan yang konsisten.

Pemerintah daerah perlu memperluas layanan penanganan dini terhadap kerusakan ringan, mengintegrasikan data kebencanaan, serta menyiapkan skema pendanaan yang lebih adaptif.

Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur yang dipercepat bukan sekadar catatan progres fisik dalam laporan tahunan. Ia adalah investasi sosial jangka panjang untuk memastikan bahwa siapapun, baik dari petani di lereng Tepal sampai pedagang ikan di Pringgabaya, memiliki akses yang layak menuju ruang hidup yang lebih sejahtera.

Infrastruktur yang terhubung dengan baik adalah jembatan menuju masa depan NTB yang lebih tangguh dan inklusif.

Tags:    

Similar News