Soal dana reses DPR RI, Akademisi: tata kelola keuangan publik harus prinsip good governance

Update: 2025-10-12 09:39 GMT

Gedung MPR/DPR RI, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Pusat

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Titi Anggraini, menilai kasus salah transfer dana reses DPR RI harus diusut secara terbuka dan dijelaskan secara detail kepada publik. Menurutnya, kejadian tersebut tidak bisa dianggap sepele atau semata sebagai human error.

“Institusi besar seperti DPR tidak dikelola orang kemarin sore. Tidak bisa serta-merta ada alasan salah transfer. Karena pengelolaan keuangan negara itu tidak sesederhana mentransfer uang dari ATM pribadi,” ujar Titi Anggraini dalam acara Elshinta News and Talk edisi siang, Minggu (12/10/2025).

Mencermati hal tersebut, Titi menekankan bahwa tata kelola keuangan publik harus mengikuti prinsip good governance yang transparan, akuntabel, profesional, dan memiliki kepastian hukum. Kesalahan dalam proses transfer anggaran, apalagi dengan nilai besar seperti dana reses DPR, dinilai mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas lembaga negara.

“Salah transfer dana negara, bukan hal sederhana. Kalau angkanya bisa berubah dari Rp702 juta menjadi Rp756 juta per anggota, publik berhak tahu, kenapa bisa terjadi,” tegasnya kepada Anchor Silvi Nursakinah.

Titi juga menyoroti kenaikan dana reses. Menurutnya, kenaikan hingga dua kali lipat itu menimbulkan pertanyaan besar tentang alasan, peruntukan, dan bentuk pertanggungjawabannya. “Kita perlu tahu akuntabilitasnya seperti apa, pertanggungjawabannya bagaimana, dan apa hasil nyata dari kegiatan reses yang dibiayai negara ini,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa dana reses seharusnya digunakan untuk menjaring aspirasi masyarakat di daerah pemilihan, bukan sekadar aktivitas seremonial tanpa keluaran kinerja yang jelas. “Problem utamanya adalah akuntabilitas dan transparansi. Kenaikan dari Rp300 juta ke Rp700 juta itu untuk apa saja dan siapa yang mengawasi?” tambahnya.

Dalam wawancara, Titi juga menyoroti keterbatasan akses publik terhadap laporan kegiatan dan penggunaan dana reses. Menurutnya, laporan hasil reses seharusnya dapat diakses masyarakat agar wakil rakyat bisa benar-benar dievaluasi berdasarkan kinerja nyata. “Sebagai warga di Dapil Banten 3 saja, saya tidak tahu aktivitas para wakil saya saat masa reses. Harusnya publik tahu ke mana mereka turun, bertemu siapa, dan apa hasilnya,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad membantah adanya kenaikan dana reses DPR RI. Dasco menjelaskan dana reses anggota DPR periode 2019-2024 senilai Rp400 juta. Tapi, pada periode 2024-2029, Sekretariat Jenderal DPR menetapkan ada penambahan indeks kegiatan dan jumlah titik. Maka, dana reses diusulkan menjadi Rp702 juta.

"Jadi itu bukan kenaikan. Itu kebijakan per periode anggota DPR yang berbeda. Jadi periode 2019-2024, itu indeks dan jumlah titiknya berbeda," kata Dasco kepada sejumlah wartawan, Sabtu (11/10/2025).

Ditambahkannya, dana reses bukan untuk anggota DPR. Melainkan, untuk kegiatan reses dengan berbagai kegiatan serap aspirasi masyarakat di masing-masing Dapil.

Sementara itu, Titi mengusulkan agar DPR memiliki standar akuntabilitas yang baku dan seragam dalam pelaporan reses, serta mekanisme pertanggungjawaban yang mudah diakses publik.

“Kalau benar modelnya actual cost, ya laporan pengeluaran harus sesuai realisasi. Kanal laporan itu mesti disosialisasikan ke masyarakat supaya publik bisa ikut mengawasi,” tandasnya.

Titi menilai momentum ini seharusnya menjadi batu uji perbaikan tata kelola keuangan di DPR RI, agar lembaga tersebut kembali mendapatkan kepercayaan publik. “Kalau human error, tunjukkan di mana letak kesalahannya, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana sistemnya diperbaiki. DPR harus makin kredibel di ruang publik,” pungkasnya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Similar News