Tenaga Ahli Menteri ESDM sebut integrasi rantai pasok energi penting

Update: 2025-09-28 09:30 GMT

Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Transportasi dan Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha Widya Putra (kiri atas) berbicara saat webinar annion Chemistry Fair Universitas Indonesia (UI) 2025, Sabtu (27/9/2025). ANTARA/Dokumentasi pribadi

Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Transportasi dan Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha Widya Putra menyebutkan pentingnya integrasi rantai pasok energi dalam upaya pemenuhan kebutuhan energi nasional.

Menurut Hangga, tantangan utama saat ini adalah bagaimana menghubungkan sumber energi dari hulu hingga ke hilir atau konsumen melalui supply chain yang terintegrasi end-to-end.

"Mulai dari sumber energinya, fasilitasnya, transportasinya, mau itu melalui pipa atau kapal atau terminal regasifikasinya, kita juga harus ada sistem pipeline pipa yang terintegrasi antarpulau supaya kita bisa menyuplai energi untuk kebutuhan listrik, industri, dan transportasi. Karena segala sesuatu yang kita lakukan membutuhkan energi," ujar dia dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

Hangga menekankan di tengah semangat dekarbonisasi dan transisi energi, Indonesia harus tetap realistis dalam menghadapi prioritas utama masyarakat, yaitu accesability, affordability, dan availability.

"Yang paling penting kita bisa mendapatkan listrik, nyalain lampu, nyalain AC, ngecas HP, laptop. Kita bisa ke SPBU isi bensin dengan harga yang tidak terlalu mahal. Itu yang paling penting untuk kita. Yang menjadi prioritas bagi masyarakat adalah harga dulu," katanya, menegaskan.

Ia mengakui bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mencapai target seperti Paris Agreement dan net zero emission (NZE) 2060. Namun, ketersediaan dan harga energi baru terbarukan (EBT) yang masih relatif mahal, serta tantangan penyimpanan (storage) menjadi kendala.

"EBT penting, namun harganya harus terjangkau dan bisa menyediakan listrik selama 24 jam terutama untuk kota-kota besar," kata Hangga, menjelaskan.

Hangga saat webinar annion Chemistry Fair Universitas Indonesia (UI) 2025, Sabtu (27/9), juga memaparkan data mengenai kondisi energi fosil Indonesia, khususnya minyak bumi. Indonesia mencapai puncak produksi minyak pada tahun 1995-1996, dengan produksi sekitar 1,5-1,6 juta barel per hari.

Namun, saat ini, produksi minyak turun drastis menjadi sekitar 600.000 barel per hari, sementara konsumsi mencapai 1,6 juta barel per hari. Demi menjaga keterjangkauan harga (affordability), impor BBM yang dilakukan saat ini sebagian besar harus disubsidi.

Oleh karena itu, strategi pemerintah untuk mengurangi defisit meliputi, pertama adalah meningkatkan lifting migas. Strategi lainnya adalah hilirisasi dan refinery unit dengan meningkatkan kapasitas kilang minyak dalam negeri untuk mengurangi impor minyak mentah dan BBM jadi.

Ketiga adalah optimalisasi produksi dengan teknologi yakni mendorong penggunaan teknologi seperti enhanced oil recovery (EOR), horizontal drilling, dan reaktivasi sumur idle sesuai Permen ESDM Nomor 14 Tahun 2025 untuk meningkatkan produksi dari lapangan yang sudah ada.

Berbeda dengan minyak, Indonesia masih surplus gas, namun menghadapi tantangan besar pada LPG yang mana produksi dalam negeri sekitar 1,97 juta metrik ton, jauh di bawah konsumsi LPG subsidi 8,23 juta metrik ton, sehingga mengakibatkan impor hampir 7 juta metrik ton.

"Meskipun fokus pada energi fosil masih tinggi, peningkatan pemanfaatan EBT terus didorong," ujar Hangga.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, akan ada penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW, dengan 42,6 GW di antaranya berasal dari EBT atau 61 persen. Selain itu, program biodiesel terus ditingkatkan dari B35 atau 35 persen campuran fatty acid methyl ester/FAME saat ini, menjadi B40 dan diproyeksikan ke B50 pada tahun depan.

Program biodiesel B40 tahun 2025 diprediksi menghemat Rp147,5 triliun. Hangga juga menyoroti pentingnya teknologi carbon capture storage (CCS) dan carbon capture utilization and storage (CCUS) sebagai solusi mitigasi bagi negara yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

Hangga menambahkan Indonesia memiliki potensi penyimpanan CO2 terbesar di dunia, yaitu 400 gigaton. Saat ini, terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang diharapkan beroperasi antara 2026-2030.

"Isu transisi energi adalah isu lintas sektoral yang membutuhkan kolaborasi antar kementerian/lembaga untuk mencapai tujuan yakni ketahanan energi, kemandirian energi, dan pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip availability, accessibility, affordability, sustainability, dan competitiveness.

Tags:    

Similar News