Pembayaran digital meningkat, Pengamat: rupiah tunai tetap tak boleh ditolak
Transaksi non-tunai seperti QRIS terus meningkat di Indonesia, namun uang tunai tetap sah secara hukum dan tidak boleh ditolak pelaku usaha.
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan transaksi non-tunai di Indonesia meningkat pesat seiring masifnya digitalisasi sistem pembayaran dan perluasan penggunaan QRIS di berbagai sektor usaha. Pemerintah dan Bank Indonesia mendorong pembayaran digital sebagai bagian dari penguatan inklusi keuangan dan efisiensi transaksi.
Namun di sisi lain, rupiah dalam bentuk uang kartal masih diakui sebagai alat pembayaran yang sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, sehingga pelaku usaha tidak diperbolehkan menolak pembayaran tunai.
Polemik pun muncul ketika sejumlah gerai mewajibkan transaksi non-tunai, memunculkan perdebatan terkait perlindungan konsumen dan kesiapan Indonesia menuju masyarakat tanpa uang tunai. Masih ingat kejadian seorang ibu yang ditolak membayar secara cash ketika membeli di sebuah gerai roti kekinian, beberapa waktu lalu?
Transaksi non-tunai seperti QRIS diperkirakan akan terus meningkat dan perlahan menggeser penggunaan uang tunai, meski tidak akan sepenuhnya menghilang, demikian disampaikan peneliti ekonomi digital Celios, Dyah Ayu Febriani, dalam wawancara Radio Elshinta Edisi Pagi, Selasa (23/12/2025).
Dia menyebut pandemi COVID-19 pada 2020–2022 telah mengubah kebiasaan masyarakat bertransaksi dan mendorong adopsi pembayaran digital hingga ke pedagang kaki lima dan usaha mikro.
Namun demikian, Dyah menegaskan bahwa rupiah dalam bentuk uang kartal masih merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia dan tidak boleh ditolak oleh pelaku usaha.
“QRIS dan pembayaran digital lainnya hanyalah alat atau sistem pembayaran, bukan mata uang, sehingga tidak dapat menggantikan sepenuhnya fungsi uang tunai,” tambahnya kepada News Anchor Bhery Hamzah.
Ia menjelaskan tingkat literasi keuangan Indonesia baru mencapai 66,46 persen. Sementara inklusi keuangan berada di angka 80,51 persen. Ini menunjukkan belum seluruh masyarakat memiliki akses dan pemahaman keuangan formal".
Dyah menilai kebijakan mewajibkan pembayaran non-tunai berpotensi melanggar hak konsumen, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum memiliki rekening bank, ponsel pintar, atau akses internet.
Selain itu, dia mengingatkan Indonesia belum dapat disebut sebagai masyarakat tanpa uang tunai karena masih bergantung pada pembayaran fisik, terutama di luar wilayah perkotaan.
Dyah juga menyoroti risiko pembayaran digital, mulai dari gangguan jaringan, potensi kejahatan siber, hingga perlindungan data konsumen yang masih perlu diperkuat.
Menurutnya, pengawasan dan kolaborasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan diperlukan untuk memastikan keamanan transaksi digital serta perlindungan pengguna.
Sebagai langkah mitigasi, Dyah menyarankan masyarakat tetap menyimpan uang tunai sebagai cadangan, terutama mengingat Indonesia rawan bencana alam yang dapat mengganggu jaringan komunikasi dan sistem pembayaran digital.
Penulis: Steffi Anastasia/Mgg/Ter


