Walhi Aceh sebut tambang emas ilegal diduga libatkan pemodal besar dan oknum aparat

Update: 2025-10-14 09:35 GMT

Hutan lindung yang rusak akibat tambang emas ilegal di Aceh

Aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Provinsi Aceh dinilai masih berlangsung masif dan belum menunjukkan tanda-tanda berkurang. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Ahmad Shalihin, dalam wawancara di Radio Elshinta, Selasa (14/10/2025), dan dipandu oleh news anchor Telni Rusmitantri.

Menurut Shalihin, dari hasil pemetaan Walhi, tambang emas ilegal tersebar di tujuh kabupaten dengan luasan sekitar 8.900 hektare, dan sebagian besar berada di kawasan hutan.

“Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, PETI itu tersebar di tujuh kabupaten dengan luasan yang cukup memprihatinkan. Sebagian besar berada di kawasan hutan dan sudah berlangsung puluhan tahun,” ungkapnya dalam Elshinta News and Talk edisi siang.

Meski Pemerintah Provinsi telah membentuk Satgas Penertiban Tambang Ilegal dan menerbitkan sejumlah instruksi penghentian, aktivitas tambang ilegal di Aceh disebut belum menurun. Bahkan, menurut Shalihin, upaya penegakan hukum sering kali terbentur penolakan warga, yang sebagian di antaranya diduga dimobilisasi oleh pihak berkepentingan.

Terkait langkah Pemerintah Aceh yang tengah mengkaji Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi legalisasi tambang rakyat, Walhi menilai prosesnya masih panjang dan berisiko jika tidak dilakukan secara selektif.

“Kami khawatir wilayah yang diusulkan sebagai WPR justru wilayah baru atau berada di kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Kalau ini tidak dikritisi, bisa memperparah kerusakan lingkungan,” jelas Shalihin.

Walhi menegaskan, Pemerintah perlu memastikan WPR hanya ditetapkan di wilayah yang selama ini telah ditambang secara masif oleh warga, bukan di wilayah baru yang berpotensi membuka kerusakan baru. Selain itu, lokasi tambang harus dipastikan bukan daerah rawan bencana, koridor satwa, atau sumber air pertanian.

Lebih jauh, Shalihin mengungkap temuan Walhi terkait indikasi keterlibatan pemodal besar dan aparat penegak hukum dalam aktivitas tambang emas ilegal di Aceh.

“Dari hasil investigasi kami, hanya sekitar 20 persen penambang yang benar-benar rakyat. Selebihnya dikuasai pemodal besar, bahkan ada aparat yang terlibat dalam pengadaan BBM untuk alat berat di lokasi tambang,” ujarnya.

Ia menyebut, hasil temuan Panitia Khusus DPR Aceh juga mengonfirmasi adanya setoran sekitar Rp30 juta per bulan untuk setiap eskavator yang beroperasi di lokasi tambang ilegal.

Sebagai langkah perbaikan, Walhi Aceh memberikan lima rekomendasi utama kepada Pemerintah:

* Menertibkan sementara seluruh investasi tambang legal yang dinilai turut memicu perebutan ruang oleh masyarakat.

* Menghentikan aktivitas tambang ilegal dan melakukan penataan ulang wilayah tambang yang ada.

* Melarang penggunaan alat berat dan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida di tambang rakyat.

* Memastikan wilayah tambang tidak berada di kawasan rawan bencana dan koridor satwa.

* Menjamin tambang rakyat benar-benar dikelola oleh masyarakat, bukan pemodal besar.

“Negara tidak boleh kalah dari kelompok-kelompok mafia yang selama ini mengatasnamakan rakyat,” tegas Ahmad Shalihin menutup pernyataannya.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Similar News