APBN 2026 disahkan, defisit naik jadi 2,68 persen PDB
APBN 2026 disahkan DPR dengan defisit 2,68% PDB. Ekonom menilai target pertumbuhan 5,4% terlalu optimistis di tengah pelemahan rupiah dan turunnya harga migas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Dalam postur yang disepakati, pendapatan negara ditargetkan mencapai Rp3.153,6 triliun, sementara belanja negara dipatok sebesar Rp3.842,7 triliun. Dengan angka tersebut, APBN 2026 mengalami defisit Rp689,15 triliun atau setara 2,68 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ekonom Tauhid Ahmad menilai postur APBN 2026 ini bersifat lebih ekspansif dibandingkan dengan tahun 2025. Ia mencatat, meski pendapatan negara diproyeksikan naik Rp5,9 triliun, belanja justru meningkat jauh lebih besar yakni Rp56,2 triliun. Kondisi tersebut membuat defisit membengkak dari 2,48 persen PDB pada 2025 menjadi 2,68 persen PDB pada 2026.
Menurut Tauhid, ekspansi belanja memang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi pemerintah perlu berhati-hati dalam menjaga kualitas belanja agar benar-benar produktif dan tidak menambah beban fiskal di masa mendatang. “Belanja harus diarahkan pada program yang bisa mempercepat pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan. Jika tidak, defisit hanya akan menambah beban tanpa hasil optimal,” ujarnya.
Lebih jauh, Tauhid menilai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen yang dipatok pemerintah dalam APBN 2026 terlalu optimistis. Ia menyoroti sejumlah faktor eksternal dan internal yang berpotensi menghambat pencapaian target tersebut. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah yang dapat meningkatkan beban impor sekaligus menekan daya beli masyarakat. Kedua, tren penurunan harga minyak mentah dunia yang bisa mengurangi penerimaan negara, khususnya dari sektor migas.
Selain itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan belum sepenuhnya pulih. Kenaikan harga kebutuhan pokok, tarif energi, dan potensi perlambatan ekonomi global bisa memengaruhi daya beli masyarakat. “Jika konsumsi tidak tumbuh sesuai ekspektasi, maka target pertumbuhan 5,4 persen akan sulit tercapai,” tambah Tauhid.
Meski demikian, ia menekankan bahwa APBN tetap harus menjadi instrumen utama pemerintah dalam menjaga stabilitas dan mendorong pembangunan. Untuk itu, disiplin fiskal harus dijaga dengan memastikan defisit tetap dalam batas aman serta pembiayaan dilakukan secara sehat.
Dalam konteks global, tantangan lain yang dihadapi Indonesia adalah ketidakpastian geopolitik, fluktuasi harga komoditas, serta dinamika pasar keuangan internasional. Semua faktor tersebut dapat memengaruhi arus investasi dan kondisi fiskal nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat basis penerimaan negara, termasuk melalui optimalisasi pajak dan cukai, tanpa harus terlalu bergantung pada sektor migas.
APBN 2026 juga diharapkan mampu memberikan dukungan nyata bagi penguatan sektor riil, terutama UMKM, pertanian, dan industri manufaktur. Selain itu, alokasi belanja untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur harus diarahkan agar memberi multiplier effect yang besar bagi perekonomian nasional.
Dengan segala tantangan dan peluang yang ada, keberhasilan implementasi APBN 2026 akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara belanja ekspansif, penerimaan yang realistis, serta pengelolaan defisit yang hati-hati. Masyarakat pun berharap APBN tidak hanya menjadi angka-angka di atas kertas, melainkan benar-benar menghadirkan manfaat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
(Nesya)