Masa depan pangan di tangan para petani keluarga
Sekelompok petani memanen bawang merah di Brebes, Jawa Tengah. (ANTARA/HO-FAO/Harriansyah)
Di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, merupakan kenyataan yang lumrah melihat rumah tangga yang memiliki lahan dengan padi, ubi, sayuran, atau buah-buahan, dilengkapi dengan kolam ikan, kandang ayam, dan sapi atau kambing.
Mereka adalah petani keluarga di negara ini. Meskipun beragam dalam hal luas lahan, produktivitas, kondisi alam dan sosial budayanya, data BPS menunjukkan bahwa 285 juta penduduk Indonesia bergantung pada sekitar 28 juta rumah tangga pertanian, sebagai penyedia utama bahan pangan harian seluruh penduduk Indonesia.
Peran penting pertanian keluarga ini seringkali terabaikan dari perhatian publik, termasuk di bidang penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, dan lingkungan hidup. Faktanya, lebih dari separuh penduduk miskin Indonesia adalah masyarakat kecil yang bekerja di bidang pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan.
Kehidupan mereka rentan terhadap kekeringan, banjir, pergeseran musim, perubahan harga, atau dinamika sosial politik lainnya.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk memastikan kesejahteraan petani keluarga, karena menyadari bahwa peran mereka dalam pembangunan berkelanjutan perlu diperkuat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Untuk mencapai hal ini, perencanaan pembangunan menempatkan sumber daya manusia, termasuk petani keluarga, sebagai pusatnya. Penguatan petani keluarga juga menjadi bagian dari upaya Indonesia untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya terkait Tujuan 2 Tanpa Kelaparan (zero hunger).
Saat ini, swasembada pangan dan gizi, peningkatan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan masyarakat perdesaan merupakan bagian dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Indonesia juga mengembangkan Rencana Aksi Nasional Pertanian Keluarga yang selaras dengan Dekade Pertanian Keluarga PBB (United Nations Decade of Family Farming) 2019-2028 yang didedikasikan untuk memajukan pertanian keluarga.
Kemajuan pertanian keluarga juga dihasilkan dari para penggerak atau champion di berbagai penjuru tanah air. Kiprah Nissa Wargadipura, seorang petani dari Garut, Jawa Barat, patut dibagikan di sini.
Ia menghasilkan cukup kebutuhan pangan bagi sekitar 30 anggota pesantrennya, dari lahan seluas satu hektare. Salah satu kunci suksesnya adalah menjaga keanekaragaman hayati dengan menanam beragam tanaman pangan, sayuran, umbi-umbian, dan rempah-rempah lokal.
Ia juga menjaga sumber air dan tanah dengan memelihara ikan air tawar dan ternak. Teknik sederhana yang sudah dikenal banyak petani keluarga di seluruh Indonesia tersebut, perlu ditularkan kembali kepada jutaan petani keluarga lainnya.
Sebagai pengakuan atas kisah suksesnya, FAO menganugerahinya gelar pahlawan pangan global (FAO Food Heroes) pada tahun 2024, dan ia dapat berbagi kisahnya dengan khalayak dari seluruh dunia.
Pertanian keluarga
Oleh karena itu, pertanian keluarga mempunyai ruang pengembangan yang luas dalam dalam berbagai program pembangunan, seperti Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), Program Swasembada Pangan, dan Program Koperasi Desa Merah Putih, untuk dapat mengangkat harkat dan martabat petani keluarga.
FAO, sebagai badan PBB yang memiliki spesialisasi teknis dan mitra pembangunan strategis di bidang pangan dan pertanian, juga bekerja sama dengan Bappenas dalam upaya ini. Melalui Program MBG misalnya, petani keluarga berpeluang luas untuk berkontribusi dalam rantai nilai sistem pangan, guna memasok hasil panen lokalnya dan memperoleh penghasilan yang mensejahterakan mereka.
Petani keluarga dapat dilatih untuk mengoptimalkan pemanfaatan air, lahan, benih, penanganan organisme pengganggu tanaman/ternak, dan teknologi pertanian/perikanan lainnya. Melalui berbagai pemberdayaan dan pendampingan, petani keluarga dapat memastikan keamanan, kebersihan, dan kualitas pangan untuk Program MBG dari produksi lokal setempat.
Akses pembiayaan bagi petani keluarga sangat penting, termasuk dalam pengelolaan pascapanen. Kehilangan susut dan sisa pangan dapat dicegah dengan menyediakan keterampilan pengemasan, fasilitas rantai dingin, dan infrastruktur yang lebih baik.
Pemberdayaan petani keluarga juga dapat diarahkan untuk mengefisienkan rantai pasok hasil pertanian. Program Dana Desa yang telah berjalan hampir satu dekade, dapat membiayai berbagai infrastruktur, keterampilan, dan peralatan yang dibutuhkan oleh petani keluarga.
Selain itu, Program Koperasi Desa Merah Putih berpotensi besar dalam memajukan kelembagaan petani keluarga, menyediakan akses pinjaman lunak, dan asuransi untuk mendukung usaha pertanian/perikanan di tingkat rumah tangga.
Teknik agro-ekologi bagi petani keluarga telah diterapkan di berbagai negara. Dengan langkah tersebut, petani keluarga akan siap untuk menghadapi tantangan krisis iklim, cuaca ekstrem, dan alih fungsi lahan.
Petani keluarga akan mampu menjaga sumber air, keanekaragaman hayati, dan mengelola limbah secara bijaksana juga akan mampu mempertahankan tingkat produksi. Dengan meningkatnya kerentanan iklim, akses pendanaan di tingkat desa menjadi penting bagi petani keluarga dalam menghadapi risiko gagal panen akibat kekeringan, banjir, atau bencana lainnya.
Di sisi lain, ketersediaan modal juga mencegah petani menjual lahan mereka. Perlu ditegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan kerja sama dan sinergi berbagai bidang serta kerja sama yang erat di tingkat desa, regional, nasional, dan internasional.
Peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia merupakan momen sangat baik, untuk menguatkan perhatian kita kembali pada petani keluarga.
Dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani keluarga. Indonesia tidak hanya dapat mengamankan sistem pangannya, namun juga mampu membangun masa depan yang lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan untuk semua.