Kasus Tata Kelola Migas: Saksi beberkan alasan ekspor dan impor tak bisa dihindari
Persidangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina kembali mengungkap dinamika internal perusahaan dalam menangani ekses produksi saat pandemi Covid-19.
Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Persidangan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina kembali mengungkap dinamika internal perusahaan dalam menangani ekses produksi saat pandemi Covid-19. Eks VP Crude Trading Integrated Supply Chain Pertamina periode 2019–2020, Dwi Sudarsono, menjelaskan bahwa para eksekutif menjalankan prosedur panjang sebelum memutuskan ekspor dan impor minyak, termasuk berkonsultasi ke SKK Migas, KPK, hingga Kejaksaan Agung.
Di hadapan majelis hakim, Dwi menyebut ekses minyak Banyu Urip pada periode 2020–2021 benar-benar terjadi akibat penurunan konsumsi BBM nasional selama pandemi. Kilang menurunkan produksi, sementara sumur tidak dapat dihentikan karena berisiko merusak struktur operasi dan menurunkan penerimaan negara. Kondisi tersebut membuat Pertamina menampung minyak di floating storage, yang menurutnya sangat membebani biaya perusahaan.
Dwi menegaskan seluruh data yang dipakai dalam rekomendasi internal, termasuk proyeksi ekses 9,4 juta barel, berasal dari fungsi perencanaan Pertamina, SKK Migas, Shipcoord, serta RKAP lintas direktorat. Ia juga mengungkap Pertamina sudah mencoba beberapa kali melelang minyak secara spot, namun penawarannya jatuh pada harga negatif. Ketika meminta pandangan regulator soal kemungkinan menjual dengan harga minus, SKK Migas disebut menolak menanggung selisih biaya.
Menurut Dwi, rapat optimasi hilir akhirnya mengarahkan opsi ekspor. Ia menekankan terdakwa—Sani Dinar Saifuddin, Agus Purwono, dan Yoki Firnandi—hanya menjalankan instruksi struktural dan tidak memiliki kewenangan mengubah data lifting, memutuskan volume impor, ataupun merevisi RKAP. Ekspor pun dilakukan oleh Pertamina Holding karena struktur subholding KPI masih dalam masa transisi.
Dwi juga membantah tudingan bahwa impor minyak dilakukan untuk menggantikan minyak yang diekspor. Meski sama-sama dikategorikan heavy crude, kata dia, karakter minyak Banyu Urip berbeda dari minyak impor yang dibutuhkan kilang.
“Jenisnya sama heavy, tapi dagingnya beda,” ujarnya, menegaskan bahwa fungsi trading hanya melaksanakan memo kebutuhan operasi seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Kamis (27/11).
Dalam persidangan, Dwi turut mengambil alih tanggung jawab atas penolakan minyak Belida dan Ketapang. Ia menyebut kontrak Belida tidak dapat dihitung keekonomiannya hingga 2022, sementara minyak Ketapang bernilai negatif sehingga berpotensi merugikan Pertamina. Dua keputusan itu, menurutnya, dilaporkan secara administratif ke level atas dan menjadi bagian dari upaya mengurangi beban floating storage.