Reformasi Kepolisian dan menghapus stigma `No viral no justice`

Update: 2025-09-16 08:10 GMT

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo memimpin upacara kenaikan pangkat 27 personel ke dan dalam golongan perwira tinggi (Pati) Polri di Gedung Rupattama Mabes Polri, Jakarta, Jumat (12/9/2025). ANTARA/HO-Divisi Humas Polri/am.

Reformasi kepolisian bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak yang dirasakan langsung oleh masyarakat pencari keadilan. Presiden Prabowo yang saat ini sedang merancang langkah reformasi besar di tubuh Polri telah membuka harapan baru bahwa institusi ini akan kembali pada marwahnya, yakni sebagai pelindung, pengayom, dan penegak hukum yang berpihak pada rakyat.

Selama ini publik telanjur kecewa dengan berbagai stigma yang melekat, mulai dari istilah “tajam ke bawah, tumpul ke atas” hingga “no viral no justice” yang menggambarkan betapa keadilan hanya berjalan ketika kasus terangkat ke ruang publik. Situasi ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Maka gagasan reformasi kepolisian dengan sejumlah usulan konkret bisa menjadi pijakan untuk perbaikan menyeluruh. Sebab penting untuk mengingatkan bahwa kepemimpinan di level puncak harus disertai ketegasan nyata, bukan sekadar wejangan.

Kapolri juga harus berani mengeksekusi slogan yang pernah digaungkan, yakni memotong kepala yang bermasalah agar penyakit di tubuh organisasi tidak menular ke bawah. Salah satu gagasan yang dapat diusulkan, di antaranya adalah melakukan rotasi terhadap jajaran kapolda di seluruh Indonesia.

Dengan cara ini, struktur kepemimpinan di daerah bisa disegarkan, sembari mencari perwira-perwira berintegritas yang benar-benar berkomitmen melayani rakyat, bukan kepentingan segelintir pihak. Rotasi serupa pernah diusulkan dalam konteks lembaga pengadilan, di mana Ketua Mahkamah Agung didorong untuk mengocok ulang pimpinan pengadilan di kota-kota besar.

Tujuannya sama, yakni memastikan moralitas dan dedikasi diutamakan ketimbang siapa yang mampu membayar. Di kepolisian, praktik-praktik pengaderan yang “bernilai” justru melahirkan pejabat yang terjebak dalam pusaran kepentingan.

Begitu menduduki jabatan baru, orientasi mereka sering kali bukan mendekat pada rakyat, melainkan mencari siapa mafia lokal yang bisa dijadikan mitra kepentingan. Tidak mengherankan jika kemudian rakyat kecil semakin jauh dari rasa keadilan.

Contoh kasus yang mencuat di kalangan masyarakat memperlihatkan pelayanan hukum yang masih belum optimal. Seorang pelapor kehilangan motor, misalnya, alih-alih mendapatkan bantuan, justru disuruh minta maaf dengan alasan membuat gaduh.

Ada kasus lain yang bahkan laporan ditolak karena alasan administrasi semata. Pernah juga, beredar isu suap yang banyak dikeluhkan masyarakat. Cerita-cerita seperti ini potensial menggerus kepercayaan publik dan memperkuat persepsi bahwa Polri butuh reformasi mendasar, bukan sekadar tambal sulam.

Di sinilah pentingnya lembaga pengawasan internal yang kuat, dalam hal ini Propam. Namun fungsi pengawasan sejauh ini juga masih terkesan perlu dioptimalkan. Mereka dituntut untuk mewujudkan fungsi pelindung masyarakat, namun sering kali pengawasan justru masih dipersepsikan sebagai upaya menciptakan aturan yang menyulitkan pencari keadilan.

Simbol keberanian

Ke depan perlu ditekankan upaya membangun Propam yang benar-benar bekerja sebagai tugas pokok dan fungsinya untuk melindungi warga dan menjadi simbol keberanian institusi.

Isu lain yang tidak kalah penting adalah mekanisme pengangkatan Kapolri. Saat ini, uji kelayakan dan kepatutan di DPR kerap dianggap sarat dengan kepentingan. Praktik ini berpotensi menimbulkan hutang budi yang pada akhirnya melemahkan independensi Kapolri.

Karena itu, perlu diusulkan agar pengangkatan Kapolri dilakukan langsung oleh Presiden sebagai hak prerogatif, sama seperti mekanisme pengangkatan Jaksa Agung. Dengan cara ini, Kapolri dapat bekerja tanpa beban politik yang mengikat dan berani mengambil keputusan tegas.

Untuk selanjutnya, pergantian Kapolri harus menjadi bagian integral dari agenda reformasi yang digagas Presiden. Dari dua nama calon yang diusulkan, Komjen Suyudi Ario Seto, salah satunya, dalam beberapa waktu terakhir banyak diperbincangkan rekam jejaknya di dunia reserse, wilayah hukum yang sangat rentan dengan mafia dan manipulasi.

Hal itu menjadi wajar karena belum genap sebulan menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional, ia menginisiasi pelumpuhan 11 jaringan narkoba internasional. Keberanian dan ketegasan dalam menegakkan hukum adalah napas utama kepolisian dalam menjaga keadilan.

Tanpa penegak hukum yang berintegritas di bidang ini, kepercayaan publik mustahil dipulihkan. Karena itu, keberadaan figur yang tegas dan berani sangat penting untuk mengubah citra Polri menjadi semakin baik. Namun reformasi kepolisian bukan sekadar pergantian orang di kursi Kapolri. Lebih jauh, menjadi sebuah transformasi budaya, sistem, dan keberanian untuk membersihkan penyakit yang telah lama bercokol.

Dengan kepemimpinan yang kuat, dukungan politik yang jelas, serta pengawasan yang tegas, maka stigma tajam ke bawah dan tumpul ke atas bisa terkikis. Begitu pula dengan pandangan bahwa tanpa viral tidak ada keadilan, yang seharusnya segera berakhir.

Harapan masyarakat sederhana, yaitu keadilan harus hadir tanpa syarat. Rakyat kecil yang kehilangan motor harus dilayani tanpa pungutan. Mereka yang mencari keadilan tidak perlu takut diintimidasi atau ditolak. Kepolisian yang reformis adalah kepolisian yang berani melawan mafia, menolak setoran, dan menempatkan rakyat sebagai pusat pengabdian.

Langkah Presiden Prabowo membuka jalan untuk terwujudnya mimpi itu. Usulan untuk memperkaya gagasan dengan solusi nyata yang bisa ditindaklanjuti.

Kuncinya sekarang pada tantangan terbesar ada pada keberanian untuk mengeksekusi. Bila reformasi benar-benar dijalankan, Indonesia akan memiliki kepolisian yang bukan hanya ditakuti karena seragam cokelatnya, tetapi dihormati karena integritasnya.

Harapan ke depan, rakyat tidak lagi harus berkata “no viral no justice”, karena keadilan akan hadir tanpa perlu sorotan kamera.

Tags:    

Similar News