Sengketa tambang Haltim, ahli BRIN beberkan kejanggalan pembangunan jalan
Ahli perencanaan hutan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Lutfy Abdullah, mengungkap temuan baru dalam sidang lanjutan sengketa tambang nikel antara PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position di Halmahera Timur (Haltim).
Sumber foto: Supriyarto Rudatin/elshinta.com.
Ahli perencanaan hutan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Lutfy Abdullah, mengungkap temuan baru dalam sidang lanjutan sengketa tambang nikel antara PT Wana Kencana Mineral (WKM) dan PT Position di Halmahera Timur (Haltim).
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (12/11), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli.
Dalam persidangan, Lutfy menegaskan bahwa pembuatan jalan yang dilakukan PT Position bukanlah peningkatan (upgrading) jalan lama, melainkan pembukaan jalan baru di kawasan hutan.
“Kalau dari citra satelit saya lihat itu bukan upgrading jalan, melainkan membuka jalan baru,” ujar Lutfy di hadapan majelis hakim.
Jalan Curam, Tak Sesuai Desain Kehutanan
Menurut Lutfy, hasil analisis morfologi dan foto citra satelit menunjukkan kemiringan jalan sangat curam dan ekstrem, sehingga tidak sesuai dengan standar jalan untuk kegiatan kehutanan.
“Berdasarkan gambar dan analisis morfologi jalan, kemiringannya sangat curam dan ekstrem. Itu bukan desain jalan untuk mengeluarkan kayu, tetapi untuk mengeluarkan material dari dalam tanah,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam praktik perhutanan, jalan semestinya dibangun dengan elevasi landai untuk menjaga keselamatan operator alat berat serta mencegah longsor.
“Dalam perencanaan hutan, pembuatan jalan harus memilih jalur dengan perbedaan elevasi minimal. Tanah hasil galian seharusnya disisihkan untuk memperkuat punggung jalan, bukan diambil seluruhnya,” papar Lutfy.
Ahli BRIN itu menambahkan, kondisi jalan yang terlihat dari foto-foto di persidangan menunjukkan aktivitas yang lebih menyerupai kegiatan tambang daripada kegiatan kehutanan.
“Jalan seperti itu tidak dibuat untuk menebang pohon, tetapi untuk mengeluarkan mineral,” tegasnya.
Soal Patok dan Aturan Hukum
Selain soal jalan, Lutfy juga menyoroti keberadaan patok di lokasi perkara. Ia mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2021, yang mendefinisikan patok sebagai tanda batas izin kawasan hutan.
“Patok seharusnya berada di batas izin, bukan di tengah area. Harus dicat mencolok dan memuat nomor serta arah batas konsesi. Dari foto yang saya lihat, objek tersebut tidak memenuhi kriteria itu, sehingga itu bukan patok,” jelasnya.
Lutfy menambahkan, perambahan hutan hanya dapat dikategorikan jika terdapat aktivitas pembukaan atau penebangan hutan tanpa izin resmi.
“Jika tidak ada tindakan fisik penebangan atau pengambilan kayu, maka sulit disebut perambahan hutan,” ujarnya seperti dilaporkan Reporter Elshinta, Supriyarto Rudatin, Kamis (13/11).
Kuasa Hukum Nilai Ada Kriminalisasi
Usai persidangan, kuasa hukum PT Wana Kencana Mineral, OC Kaligis, menilai perkara yang menjerat kliennya sarat dengan kriminalisasi.
“Kalau pengadilan jujur melihat fakta, jelas jalan itu dibuat untuk mengeluarkan material tambang, bukan untuk kehutanan. Semua fakta di persidangan mematahkan dakwaan,” katanya.
Sementara kuasa hukum lainnya, Rolas Sitinjak, menilai keterangan ahli BRIN semakin memperjelas bahwa perjanjian kerja sama (PKS) antara PT WKS dan PT Position telah batal demi hukum.
“Yang diperjanjikan adalah jalan eksisting, tapi berdasarkan peta citra satelit, itu jalan baru. Artinya, pembangunan dilakukan tanpa izin yang sah,” tegasnya.
Rolas juga mengungkap, kawasan tersebut sebelumnya merupakan hutan perawan (virgin forest) yang baru bisa dibuka kembali setelah 35 tahun atau pada 2037.
“Kalau mereka buka jalan baru di area hutan perawan tanpa izin Menteri, itu jelas pelanggaran,” ujarnya.
Sindiran Soal ‘Pelakor Tambang’
Dalam keterangannya, Rolas turut menyinggung fenomena ‘pelakor’ alias penambang lahan koridor di dunia pertambangan, yakni pihak-pihak yang menambang di luar wilayah izin resmi.
“Penambang seperti ini harus diberantas. Mereka tidak bayar kewajiban, tapi merusak kawasan hutan,” katanya.
Ia menilai kasus yang menjerat kliennya justru mengungkap adanya praktik manipulatif oleh pihak lain yang membuka jalur tanpa izin.
“Kalau Presiden Prabowo serius mau berantas illegal mining, datanglah ke lokasi-lokasi seperti di Halmahera Timur. Di sana tambang ilegal benar-benar marak,” tandasnya.
Dirut PT WKS Kembali Mangkir
Dalam sidang yang sama, Direktur Utama PT WKS Jacob Supamena, salah satu saksi kunci, kembali tidak hadir dengan alasan masih menjalani perawatan di rumah sakit.
“Tetap kita kasih energi positif biar yang bersangkutan bisa hadir. Silakan kalau kuasa hukum mau jenguk,” ujar Ketua Majelis Hakim Sunoto di ruang sidang.
Majelis hakim kemudian menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda pemeriksaan dua terdakwa, yakni Marsel Bialembang dan Awwab Hafidz, yang didakwa melakukan pemasangan patok di kawasan hutan tersebut.