Kemenhut sebut kematian Badak Jawa hasil translokasi akibat penyakit kronis

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia memberikan penjelasan resmi kepada publik terkait wafatnya Musofa, individu pertama Badak Jawa yang berhasil ditranslokasi dalam Program Operasi Merah Putih Translokasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon.

Update: 2025-11-28 15:20 GMT

Sumber foto: M Irza Farel/elshinta.com.

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia memberikan penjelasan resmi kepada publik terkait wafatnya Musofa, individu pertama Badak Jawa yang berhasil ditranslokasi dalam Program Operasi Merah Putih Translokasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Penjelasan ini agar publik mendapatkan informasi yang akurat, transparan, dan berbasis sains tentang apa yang terjadi.

Dalam konferensi pers, Rohmat Marzuki, Wakil Menteri Kehutanan, menegaskan bahwa proses translokasi telah dilakukan sesuai standar ilmiah dan etika konservasi satwa liar. Ia menyampaikan duka mendalam sekaligus penjelasan menyeluruh kepada publik.

“Pertama-tama, izinkan kami menyampaikan rasa duka mendalam atas wafatnya salah satu individu Badak Jawa bernama Musofa, yang selama ini menjadi bagian penting dari upaya penguatan populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon," ujar Wamenhut Rohmat seperti dilaporkan Reporter Elshinta, M Irza Farel, Jumat (28/11).

Ia melanjutkan bahwa, Musofa adalah individu pertama Badak Jawa yang berhasil ditranslokasi sebagai bagian dari program konservasi nasional. Upaya translokasi ini merupakan langkah ilmiah dan strategis untuk menjaga keberlanjutan populasi badak jawa, salah satu satwa paling langka di dunia.

Lebih lanjut, Wakil Menteri Kehutanan menekankan bahwa Badak Jawa merupakan satwa dengan status kritis serta menghadapi ancaman serius terhadap kelestarian populasinya.

“Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu satwa paling langka di dunia dengan status Critically Endangered (IUCN Red List). Saat ini, populasi badak jawa hanya tersisa di Taman Nasional Ujung Kulon, dengan jumlah yang sangat terbatas. Berdasarkan kajian ilmiah terbaru, populasi ini menghadapi ancaman kepunahan dalam waktu kurang dari 50 tahun akibat rendahnya keragaman genetik, perkawinan sedarah (inbreeding), serta keterbatasan habitat," ujarnya.

Tags:    

Similar News