Nilai TKA 2025 masih rendah, FSGI soroti kesiapan pembelajaran Nasional

Update: 2025-12-29 11:50 GMT

Tes Kemampuan Akademik 2025

Elshinta Peduli

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) merilis hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 yang menjadi instrumen evaluasi baru pengganti Ujian Nasional. Hasilnya menunjukkan nilai rata-rata Nasional pada sejumlah mata pelajaran inti masih rendah. Tak heran ini memicu perhatian berbagai pihak terhadap kualitas pembelajaran dan kesiapan guru di sekolah.

Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 pada jenjang SMA, SMK, MA hingga Paket C resmi dirilis oleh Kemendikdasmen dengan capaian nilai rata-rata nasional yang masih rendah. Data menunjukkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 57,03, Matematika 37,03, dan Bahasa Inggris 26,33, yang memicu evaluasi terhadap kualitas pembelajaran di sekolah.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, menilai hasil tersebut tidak lepas dari status TKA sebagai asesmen baru yang disiapkan dalam waktu relatif singkat. “Ini TKA pertama dan persiapannya sangat mepet, sehingga banyak pihak sebenarnya sudah memperkirakan hasilnya belum maksimal,” ujar Retno dalam Elshinta News and Talk edisi pagi, Senin (29/12/2025).

Ia mengatakan capaian TKA mencerminkan proses pembelajaran di sekolah yang masih menekankan hafalan dibandingkan kemampuan analisis. “TKA menuntut kompetensi literasi, pemahaman teks, dan kemampuan menarik kesimpulan, sementara pembelajaran kita belum terbiasa ke arah itu,” tambahnya kepada News Anchor Asrofi.

Elshinta Peduli

Retno menjelaskan rendahnya nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris erat kaitannya dengan lemahnya pemahaman teks bacaan. “Soal-soalnya didominasi teks panjang yang menuntut anak memahami kata, kalimat, hingga makna keseluruhan, dan ini menunjukkan kemampuan literasi siswa masih rendah,” ucapnya.

Menurut Retno, rendahnya literasi tidak semata menjadi tanggung jawab sekolah, melainkan juga dipengaruhi budaya membaca di rumah. “Anak bisa membaca tetapi tidak memahami bacaan, dan itu menunjukkan budaya literasi di keluarga juga perlu diperkuat,” katanya.

Ia menyoroti kebiasaan siswa yang terbiasa mencari jawaban instan dari internet tanpa proses berpikir kritis. “Anak-anak sering menyalin jawaban, sementara guru juga belum semua memiliki perangkat untuk mendeteksi dan melatih proses berpikir mandiri,” jelasnya.

Retno menegaskan pembelajaran harus membiasakan siswa menulis dan menjawab pertanyaan berdasarkan pemikiran sendiri. “Guru perlu membiasakan soal-soal analitis agar anak berpikir, bukan sekadar memilih jawaban,” sambungnya.

Terkait kurikulum, Retno menilai konsep pembelajaran mendalam dalam Kurikulum Merdeka sebenarnya sudah tepat. “Kurikulumnya sudah dirancang mendalam, tetapi persoalannya ada pada kesiapan dan kompetensi guru dalam mengimplementasikannya,” ujarnya.

Ia juga menyoroti minimnya pelatihan berkelanjutan dan rendahnya kesejahteraan guru sebagai persoalan mendasar. “Pemerintah belum sungguh-sungguh menganggarkan pelatihan guru secara berkelanjutan, padahal guru harus terus diperbarui kompetensinya,” kata Retno.

Retno menambahkan tanpa peningkatan kualitas guru, sulit berharap hasil pembelajaran akan membaik. “Kurikulum sebagus apa pun tidak akan berjalan optimal jika guru tidak dibekali pelatihan dan kesejahteraan yang memadai,” ujarnya.

Hasil TKA 2025 ini, menurut Retno, seharusnya menjadi bahan refleksi bersama antara pemerintah, sekolah, guru, dan orang tua. “Evaluasi ini penting agar pembelajaran benar-benar membangun literasi, pemahaman konsep, dan daya pikir kritis siswa Indonesia,” pungkasnya.

Penulis: Steffi Anastasia/Mgg/Ter

Elshinta Peduli

Similar News