Titik balik hidup Dwi, dari rumah sederhana ke Asrama Sekolah Rakyat

Update: 2025-12-23 09:07 GMT

Dwi Aprilia, siswa Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 10 Cibinong, Jawa Barat

Elshinta Peduli

Ruangan asrama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 10 Cibinong menjadi saksi bisu bagi Dwi Aprilia dalam menemukan arti baru dari sekolah dan kehidupan.

Remaja berusia 13 tahun ini terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Ayahnya sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur rambut dan kadang menjaga parkir. Penghasilannya rata-rata Rp 1,5 juta per bulan jelas terasa berat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kadang aku nggak minta jajan kalau ayah uangnya nggak ada. Nggak apa secukupnya saja,” ujar Dwi lirih, dalam sebuah kesempatan, beberapa waktu lalu.

Kalimat sederhana yang menggambarkan kedewasaan seorang anak yang seharusnya hanya memikirkan belajar dan bermain namun sudah paham arti pengorbanan.

Empat bulan lalu, kehidupan Dwi berubah. Ia pindah ke asrama Sekolah Rakyat yang ritme hidupnya lebih tertata. Pagi hari dimulai dengan sholat subuh berjamaah, berolahraga, membersihkan asrama hingga mengikuti pelajaran sampai sore.

Malamnya, ia kembali belajar atau sekadar mencuci baju bersama teman-temannya.

“Di rumah, biasanya aku bangun jam 6 pagi, sekolah sebentar terus pulang. Kalau di sini, aku senang kegiatannya banyak, dapat makan tiga kali, snack juga. Lumayan meringankan beban orang tua,” ungkapnya.

Sekolah Rakyat bukan hanya tempat belajar, melainkan rumah kedua bagi Dwi. Ia pun mulai berani bermimpi lebih tinggi. Ketika ditanya tentang cita-citanya, mata Dwi berbinar.

Elshinta Peduli

“Aku mau jadi dokter. Jadi kalau orang tua aku sakit, bisa berobat sama aku,” ungkapnya.

Namun kemudian, wajahnya berubah ragu. “Tapi perjalanan jadi dokter panjang ya, nggak gampang. Takut gak mampu,” katanya.

Kekhawatiran itu wajar bagi seorang anak seperti Dwi, membayangkan biaya kuliah kedokteran memang terasa berat. Tapi ia tidak menyerah.

“Aku niat sekali, mau lanjut kuliah dokter. Sudah bilang sama Bu Guru dan Wali Asuh juga katanya tenang nanti dibantu, asal aku belajar yang rajin,” ucapnya mantap.

Di balik sifat pemalunya, Dwi menyimpan kecintaan pada seni terutama olah vokal alias menyanyi. “Aku suka nyanyi dari kelas 5 SD, di sini juga paling suka mata pelajaran seni. Tapi nggak pernah ikut lomba soalnya malu,” jelasnya sembari tersenyum kecil.

Perlahan, rasa percaya diri itu tumbuh sejak masuk Sekolah Rakyat. “Kalau dulu rasa percaya diri aku 40 persen, sekarang udah 80 persen,” katanya bangga.

Tinggal jauh dari orangtua tentu bukan hal mudah. Ayah dan ibunya jarang berkunjung karena jarak jauh dan ongkos transportasi yang mahal. Meski begitu, ada satu sosok yang selalu menjadi inspirasinya. “Aku ngeidolain Ibu. Capek ngurus rumah, anak-anak, kadang sakit, tapi gak pernah ngeluh. Aku kagum banget,” urai Dwi.

Sekolah Rakyat menjadi titik balik dalam hidupnya. Tempat ia menemukan ilmu, kemandirian dan keberanian untuk bermimpi. “Terima kasih karena sudah ada Sekolah Rakyat dan sudah mau menampung kami walaupun kami masih ada yang bandel,” pungkasnya. (Suw/Ter)

Elshinta Peduli

Similar News