Banyak pelajaran berharga dari demo di DPR untuk jaga Indonesia
Pengunjuk rasa melakukan aksi di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (29/8/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.
Peristiwa demonstrasi (demo) di depan gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, pada akhir Agustus 2025, memberi peringatan kolektif bagi bangsa kita untuk kembali pada semangat bersama, yakni menjaga Indonesia tetap damai.
Aksi demo yang membawa korban itu berawal dari kekecewaan rakyat terhadap sikap dan pernyataan anggota DPR yang dinilai kurang sensitif. Kekecewaan rakyat itu patut kita duga merupakan akumulasi dari ketidakpuasan atas peristiwa-peristiwa sebelumnya, termasuk kasus korupsi dan kenaikan tunjangan anggota DPR.
Menyikapi aksi demo yang berakhir rusuh itu, para pemimpin partai politik telah menunjukkan sikap empati kepada kekecewaan rakyat, dengan mengganti para anggota DPR yang dinilai tidak peka karena mengeluarkan pernyataan dan perilaku yang menyinggung perasaan rakyat.
Aksi demo ini memberi pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa ini. Para wakil rakyat, tentu juga pejabat negara, harus berhati-hati, tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan di era distribusi informasi yang dapat menyebar dengan cepat lewat media sosial ini.
Kita tahu bahwa paradigma warganet dalam bermedia sosial itu adalah kecepatan dan berlomba-lomba agar mendapatkan banyak pengunjung di postingannya. Tidak ada budaya sensor dan verifikasi kebenaran atas satu informasi di media sosial, sebelum disebar.
Dalam peristiwa demo di gedung DPR, meskipun media sosial memiliki banyak kekurangan terkait pemilihan informasi yang layak dan tidak layak untuk disebarluaskan, di sisi lain sistem persebaran informasi seperti ini juga ada nilai positifnya.
Dengan penyebaran informasi yang sangat cepat, bahkan lebih banyak tanpa kendali, termasuk dalam aksi demo di depan gedung DPR, maka siapapun kita, lebih-lebih yang menduduki jabatan di pemerintahan, harus berhati-hati dalam berucap dan bertindak.
Keberadaan media sosial, termasuk dalam peristiwa demo di DPR, menjadi semacam peranti atau alat untuk pengawasan melekat (waskat) bagi siapapun dalam mengucapkan sesuatu atau melakukan sesuatu. Media sosial telah menjadi semacam CCTV atau kamera pengintai berjalan yang mengintai perilaku dan ucapan siapa saja.
Jika meminjam diktum agama, keberadaan media sosial sudah menjadi seperti malaikat Rokib dan Atid yang bertugas mencatat segala perbuatan baik dan buruk manusia.
Tentu bukan sekadar takut terekam kamera, kemudian menyebar secara luas dan serentak, keberadaan media sosial membawa kita untuk selalu kembali pada pegangan moral yang lebih tinggi, yakni menggunakan panduan hati nurani dalam berucap dan bertindak.
Tidak bermaksud membenarkan tindakan warga, penjarahan terhadap rumah sejumlah anggota dewan, bukan sekadar menunjukkan ekspresi marah tak terbendung dari rakyat. Lebih dari itu, Tuhan juga sedang mengingatkan kita bahwa harta bukan segalanya dalam hidup.
Tuhan mengingatkan kita bahwa hidup di dunia tidak selamanya. Pada saatnya, kita akan meninggalkan semua harta yang kita kumpulkan, atau sebaliknya, harta yang justru akan meninggalkan kita. Meminjam diksi anak-anak milenial, harta itu meninggalkan kita di saat "masih sayang-sayangnya".
Karena itu, kembali kepada suara hati nurani adalah pilihan terbaik bagi mereka yang mendapat amanah untuk memimpin atau menjadi anggota lembaga di pemerintahan. Hati nurani adalah panduan hidup paling presisi untuk menyelamatkan kita, sebagaimana sering diingatkan oleh cendekiawan Muslim dan guru bangsa Prof Dr Nurcholis Majid atau Cak Nur, semasa hidupnya.
Sambil menunggu pengesahan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset menjadi undang-undang yang diyakini akan membuat siapapun takut untuk melakukan korupsi, para wakil rakyat dan pejabat dapat segera mengubah haluan hidup, dari sebelumnya yang mungkin lebih sering digerakkan oleh ego untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta, menjadi, senyampang masih menjabat, berfokus pada perilaku terbaik untuk membawa bangsa ini menjadi maju.
Mereka yang sedang menjabat tentu sangat paham, bahwa syarat utama menjadi bangsa maju adalah pemerintahannya bersih dari korupsi.
Semua jadi korban
Demo yang digerakkan oleh kekecewaan rakyat telah membawa korban, bukan hanya sejumlah bangunan milik negara dan fasilitas umum yang rusak akibat dibakar dan diamuk massa, melainkan juga korban nyawa rakyat. Bukan hanya rakyat biasa, yakni Affan Kurniawan, sopir ojek daring, yang menjadi korban dalam peristiwa demo itu, tapi juga aparatur negara, seperti pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Makassar.
Bahkan, anggota Brigade Mobil atau Brimob yang mengemudikan kendaraan taktis dan anggota yang berada dalam kendaraan itu juga menjadi "korban".
Tidak bermaksud mengabaikan duka mendalam bagi keluarga almarhum Affan Kurniawan yang telah kehilangan anggota keluarganya, dari fakta yang terungkap dalam sidang etik di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/9), Kompol K mengaku baru mengetahui adanya warga yang tergilas kendaraan taktis Brimob, setelah video rekaman peristiwa itu viral di media sosial. Dari pengakuan Kompol K, peristiwa itu tampak tidak ada kesengajaan.
Meskipun demikian, Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang mengadili perkara itu menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan kepada Kompol K atas jabatannya sebagai Komandan Batalyon A, Resimen IV, Pasukan Pelopor, Korbrimob Polri.
Hukuman itu diterima karena dia dinyatakan bertindak tidak profesional dalam menangani aksi unjuk rasa pada 28 Agustus 2025, sehingga mengakibatkan Affan Kurniawan meninggal dunia. Personel Brimob lainnya juga mendapatkan sanksi berat. Dengan putusan KKEP itu, maka karir selanjutnya sudah pupus bagi anggota tersebut, apalagi jika nanti ditambah dengan hukuman pemecatan sebagai anggota Polri.
Dari peristiwa ini, mari kita kembali ke semangat menjaga Indonesia tetap damai. Menjaga Indonesia ini, bisa dilakukan dengan menghindari korupsi bagi pejabat, sehingga tidak memancing rakyat marah. Bagi rakyat juga harus berhati-hati dalam menyampaikan aspirasi atau mengekspresikan ketidakpuasan terhadap keadaan. Dibolehkannya unjuk rasa dalam sistem demokrasi, menuntut kita tetap jernih menyikapi semua keadaan.
Bagi pejabat, gunakan hati nurani dengan tidak korupsi. Bagi rakyat, gunakan hati nurani untuk tidak melakukan aksi yang menimbulkan kerusuhan dan kerusakan.