Prof Nadirsyah Hosen sebut marwah NU ada di Rais Aam
Prof. Dr. Nadirsyah Hosen
Akademisi dan tokoh Nahdlatul Ulama yang kini menetap di Australia, Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, menyampaikan pandangan tegas mengenai dinamika internal PBNU yang belakangan memicu perdebatan publik.
Dalam pernyataan tertulisnya, Gus Nadir, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa dirinya memilih untuk berada di barisan Rais Aam dan dua Wakil Rais Aam, terlepas dari hiruk pikuk tafsir prosedur maupun manuver para aktivis organisasi.
Menurut Gus Nadir, NU sejak awal berdiri adalah jam’iyyah ulama. Karena itu, arah dan marwah organisasi seharusnya tetap berada di tangan Syuriah yang dipimpin Rais Aam, bukan bergeser menjadi organisasi teknokratis yang dikendalikan oleh perdebatan AD/ART semata.
“NU ini kan Nahdlatul Ulama, bukan Nahdlatul prosedur AD/ART,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Elshinta, Senin (8/12/2025)
Ia menilai, bahaya terbesar yang mengintai NU adalah ketika keputusan-keputusan Syuriyah yang secara tradisi merupakan otoritas tertinggi, dimentahkan oleh tafsir prosedural dan kekuatan voting para aktivis.
Jika pola demikian dibiarkan, kata Gus Nadir, maka peranan Syuriyah perlahan akan terpinggirkan.
“Kebenaran yang dijaga oleh Rais Aam dan dua Wakil Rais Aam akan dimentahkan oleh tafsir prosedur dan kekuatan voting para aktivis,” kata Gus Nadir.
“Lama-lama peranan Syuriyah akan terus dibatasi dan dipinggirkan oleh para aktivis,” imbuhnya.
Gus Nadir menegaskan sikap pribadinya lebih memilih berpegang pada kepemimpinan para ulama meskipun ijtihad mereka bisa saja tidak sempurna, ketimbang mengikuti aktivis organisasi sekalipun secara administratif mereka benar.
“Saya memilih lebih baik bersama Rais Aam dan dua Wakil Rais Aam meskipun seandainya ijtihad beliau salah, ketimbang bersama para aktivis organisasi meskipun seandainya ijtihad mereka benar,” ungkapnya.
Ia menutup pernyataannya dengan refleksi tajam tentang arah masa depan NU. Bila khidmat dalam NU hanya berfokus pada kepatuhan teknis bukan ketundukan pada ulama maka hilanglah esensi spiritual yang selama ini menjadi kekuatan terbesar jam’iyyah.
“Kalau ber-NU bukan lagi berkhidmat pada ulama, tapi berkhidmat pada AD/ART, saya tidak tahu lagi di mana keramat dan berkatnya ber-NU ini,” tandasnya.
Penulis: Suwiryo/Ter