Digital detox: menjaga keseimbangan dunia maya dan nyata

Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap aspek aktivitas masyarakat bergantung pada teknologi, baik untuk urusan pekerjaan, mencari hiburan, maupun berkomunikasi.

Update: 2025-10-15 12:10 GMT

Sumber foto: https://shorturl.at/pzjNQ/elshinta.com.

Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap aspek aktivitas masyarakat bergantung pada teknologi, baik untuk urusan pekerjaan, mencari hiburan, maupun berkomunikasi.

Indonesia sendiri kini menyandang gelar sebagai salah satu negara dengan pengguna gawai terbanyak di dunia.

Berdasarkan laporan Digital 2025 Global Overview Report, 98,7 persen masyarakat Indonesia berusia 16 tahun ke atas mengakses internet melalui ponsel. Angka ini melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang sama-sama berada di 98,5 persen.

Sementara itu, hasil survei perusahaan riset dan analisis global YouGov pada April-Mei 2025, menunjukkan bahwa gen Z merupakan kelompok yang paling dominan dalam penggunaan media sosial. Rata-rata waktu yang mereka habiskan untuk berselancar di media sosial juga tergolong tinggi, yakni 5 sampai 7 jam perhari.

Najla Deva (20), mahasiswi di salah satu perguruan tinggi ternama mengaku menghabiskan waktu 5 jam untuk berselancar di dunia maya melalui ponsel. Saat hari libur, biasanya ia menghabiskan waktu hingga dan 8-9 jam per hari.

"Senin sampai Jumat itu rata-ratanya 5 jam dan mentok-mentok 6 jam. Nah, kalau weekend 8 jam bisa 9 jam bisa," ucapnya.

Media sosial juga menjadi platform yang paling sering diakses oleh gen Z. Najla mengaku, aplikasi yang paling sering digunakannya adalah WhatsApp dan TikTok.

Lebih dari sekedar lelah mata

Namun, perlu dipahami pula penggunaan gadget secara berlebihan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif baik untuk kesehatan fisik maupun mental.

Melansir situs resmi Kemenkes RI, kebiasaan menatap layar gadget dalam waktu lama dapat memberikan dampak negatif pada tubuh, khususnya bagi kesehatan mata.

Paparan sinar dari layar gadget yang digunakan terlalu lama bagi mata dapat menyebabkan mata cepat lelah, sakit kepala, dan gangguan penglihatan seperti pandangan berbayang.

Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Eka Riyanti Purboningsih, M.Psi. mengatakan bahwa penggunaan gadget yang berlebih akan menimbulkan kelelahan secara kognitif.

Hal ini sejalan pula dengan pengalaman Najla yang menyatakan sering merasa lelah setelah terlalu lama menggunakan aplikasi TikTok dan menggulir berbagai konten video yang tidak ada habisnya.

Menurut Eka, kondisi tersebut terjadi karena konten yang dilihat tidak lewat begitu saja di otak, tetapi terdapat proses yang berjalan.

"Tidak mungkin konten-konten itu lewat begitu saja di otak kita, ada proses yang harus berjalan. Dan proses tersebut relatif monoton, dia tidak berpikir, dia tidak mengolah, pokoknya ditelan saja. Nah, walaupun dia tidak melakukan apa-apa (ketika menonton konten), itu akan tetap menimbulkan kelelahan secara mental, secara kognitif," jelasnya.

Ia juga menambahkan jenis konten yang dikonsumsi juga menjadi faktor. Apabila konten tersebut mengandung ujaran kebencian, perundungan, kekerasan, dan hal negatif lainnya, akan menimbulkan emosi negatif yang pada akhirnya menimbulkan kelelahan tersebut.

Menepi sejenak dari layar

Efek lelah tersebut, baik secara fisik maupun mental, tentunya akan mempengaruhi kinerja kita. Kondisi ini akan semakin parah jika kegiatan "menggulir" medsos ini sudah menjadi candu. Saat itulah kita harus mulai sadar untuk mencoba melakukan digital detox.

Digital detox merupakan upaya seseorang untuk mengurangi atau menghentikan sementara penggunaan perangkat digital yang bertujuan untuk menurunkan tingkat ketergantungan.

Melakukan digital detox bukan berarti sepenuhnya memutus akses terhadap teknologi, melainkan memberi istirahat bagi diri sendiri dari paparan dunia digital yang berlebihan. Cara ini memungkinkan seseorang dapat terhubung kembali dengan lingkungan sekitarnya dan memperbaiki keseimbangan antara kehidupan dunia maya dan dunia nyata.

Seperti yang dilakukan Rachel Kathryn (20), mahasiswi ini mengaku pernah melakukan digital detox saat liburan semester kuliah, tepatnya selama dua bulan penuh. Keputusan tersebut ia ambil karena merasa membutuhkan waktu istirahat dari berbagai interaksi sosial yang membuatnya lelah, terutama selama masa perkuliahan sebelumnya.

Ia berkata, rehat sejenak dari dunia digital memberikan dirinya lebih banyak waktu baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Selain itu, jam tidur yang sebelumnya berantakan menjadi lebih teratur saat ia melakukan digital detox ini.

"Aku jadi lebih banyak me time sama quality time sama keluarga, karena sejak kuliah kan jauh juga dari orang tua. Nah, aku jadi lebih punya waktu untuk diri sendiri," kata dia.

Rachel merasa, terlalu lama berselancar di medsos membuat dirinya seperti harus selalu ada untuk semua orang. Saat ia mengunggah sesuatu, kemudian ada yang memberi komentar, atau mengirimkan chat, sehingga membuat jam tidurnya terganggu.

"Jadi (setelah digital detox) bener-bener normal dan tubuh jadi lebih fresh," jelas Rachel.

Tantangan besar

Meski demikian, menjalani digital detox tidak sesederhana itu, apalagi bagi generasi digital native.

Eka mengatakan bahwa internet atau sosial media merupakan pintu masuk bagi Gen Z untuk mendapatkan kebutuhannya seperti informasi, entertaiment, self esteem, dan lain-lain.

"Apabila hal tersebut diambil dari kehidupan mereka, itu seperti membuat mereka, terisolasi dari dunianya. Dan itu juga tidak bagus juga," kata Eka.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar digital detox tidak dilakukan secara mendadak maupun dengan menonaktifkan seluruh sosial media sekaligus.

Sebaliknya, pilihlah satu atau dua aplikasi yang paling sering membuat terpaku pada layar untuk dihapus sementara, atau tetapkan batas waktu penggunaan agar lebih terkontrol.

Selain itu, Eka juga menyarankan digital detox dilakukan dengan mengalihkan waktu yang dipakai untuk bermain gadget dengan berbagai aktivitas yang digemari.

"Kalau dia suka olahraga ya olahraga. Dia suka nonton sama temen-temennya, keluar sama temen-temennya, hangout atau ngafe, tapi ngobrol. Menjalin kembali relasi yang face to face gitu, relasi yang bersentuhan, karena naluri kita memang banyak stimulasi ketika disentuh, nah itu sekejap kemudian bisa mengalihkan keterpakuan dia dengan penggunaan digital," pungkasnya.

Teknologi memang tidak dapat dihindari, namun selalu ada pilihan untuk menepi sejenak dan mengatur cara penggunaannya, agar dunia maya dan dunia nyata tetap seimbang.

Tags:    

Similar News