KIE Yogyakarta soroti dampak banjir bagi kelompok rentan

Banjir menjadi persoalan serius yang banyak terjadi diberbagai wilayah dunia termasuk Indonesia. Mengatasi masalah banjir tidak hanya melalui pembangunan infrastruktur tetapi juga sosial masyarakat.

Update: 2025-11-21 11:10 GMT

Sumber foto: Izan Raharjo/elshinta.

Banjir menjadi persoalan serius yang banyak terjadi diberbagai wilayah dunia termasuk Indonesia. Mengatasi masalah banjir tidak hanya melalui pembangunan infrastruktur tetapi juga sosial masyarakat.

Peneliti Queensland University of Technology, Prof. Connie Susilawati mengungkapkan bahwa banjir jamak terjadi di Australia dan Indonesia, tetapi frekuensinya diperkirakan akan meningkat seiring perubahan iklim. Maka itu, intervensi multi pendekatan perlu dilakukan; tidak hanya secara teknis melalui infrastruktur tetapi juga sosial untuk menyiapkan masyarakat, khususnya kelompok rentan menghadapi situasi sebelum hingga sesudah banjir.

“Klasifikasi terkait kelompok rentan ini berbeda di tiap wilayah. Dalam penelitian kami di Surabaya, perempuan dan anak-anak menjadi golongan yang rentan dan membutuhkan dukungan saat banjir. Namun saat melakukan komparasi di Australia, muncul satu golongan lain yaitu tunawisma (homeless) yang tergolong rentan. Ini karena perbedaan mekanisme yang berlaku di Australia, di mana ketika suatu rumah terdampak bencana, misalnya banjir, maka tempat itu tidak boleh dibangun kembali,” kata Connie pada acara Knowledge & Innovation Exchange (KIE) Yogyakarta yang digelar KONEKSI, platform kemitraan pengetahuan Australia–Indonesia di hotel Alana, Sleman, Yogyakarta, Rabu-Kamis (19-20/11/2025).

Sementara pada kesempatan yang sama, Prof. Wiwandari Handayani dari Universitas Diponegoro, Semarang yang meneliti banjir di Kota Semarang melihat bagaimana pemerintah setempat telah melakukan intervensi infrastruktur untuk mengatasi situasi. Namun dalam penanganan pascabanjir, komunitas masih menjadi salah satu pihak pertama yang turun membantu masyarakat terdampak, khususnya kelompok rentan.

“Dalam penanganan banjir, terkadang pendekatan teknis yang dilakukan bersifat reaktif, sehingga kurang tepat memandang akar masalah dan dampaknya dalam jangka panjang. Jadi perlu memperhatikan juga jalur sosioekologi banjir, tentang bagaimana interaksi antara manusia dengan lingkungannya ini saling memengaruhi. Pemerintah bisa bekerja sama dengan komunitas terkait ini, sehingga pembangunan yang dilakukan dapat lebih efektif mengurangi dampak banjir,” kata Wiwandari.

Di KIE Roadshow Yogyakarta, dialog terkait solusi untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan ini tidak hanya mencakup problematika urban. Namun juga sektor-sektor prioritas seperti agrikultur dan perairan, yang berkaitan dengan penghidupan dan hajat hidup masyarakat.

Pada sesi Strategic Insight Session, misalnya, A/Prof. Ryan Edwards (Australian National University) dan Astuti Kusumaningrum (JPAL Southeast Asia) mengeksplorasi bagaimana praktik pertanian yang lebih baik dan inklusif dalam program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) turut berdampak ke produktivitas hasil dan mitigasi dampak pertanian bagi lingkungan. Rekomendasi ini diharapkan berkontribusi terhadap produksi crude palm oil (CPO) sebesar 60 juta ton pada 2030 secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Sementara itu di sektor kehutanan, riset kolaboratif yang diinisiasi oleh Dr. Tessa Toumbourou (The University of Melbourne) dan Dr. Lilis Mulyani (BRIN) menyoroti pengelolaan perhutanan sosial yang inklusif untuk meningkatkan penghidupan masyarakat, khususnya perempuan. Revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021 lalu memang memungkinkan satu keluarga untuk berpartisipasi dalam lembaga pengelolaan hutan desa (LPHD). Dari observasi, perempuan belum banyak terlibat dalam LPHD ini dan cenderung berperan untuk aspek komersialisasi produk hasil hutan lewat kelompok usaha pertanian sosial (KUPS). Padahal, dari komparasi pengelolaan perhutanan sosial antara hutan desa (di Sintang, Kalimantan Barat dan Muara Enim, Sumatra Selatan) dan hutan kemasyarakatan (di Gunung Kidul, DIY dan Enrekang, Sulawesi Selatan), manajemen yang inklusif akan berdampak ke ekonomi.

“Masih ada beberapa hambatan yang dialami perempuan untuk terlibat dalam perhutanan sosial ini. Kebijakan yang masih netral gender, informasi yang terbatas, dan syarat administrasi yang cukup rumit dan teknis membuat perempuan tidak bisa menavigasi perizinan ini tanpa bantuan lembaga swadaya masyarakat. Jadi keluaran atas regulasi ini pun masih belum setara dari sisi gender,” kata Lilis seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Izan Raharjo, Jumat (21/11).

Similar News