Pidato Prabowo di PBB: Indonesia tawarkan solusi kemenangan bersama

Pidato Presiden Prabowo Subianto di sidang umum PBB menawarkan opsi yang membuat semua pihak, khususnya Palestina dan Israel, sama-sama "dimenangkan".

Update: 2025-09-23 14:50 GMT

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Pidato Presiden Prabowo Subianto di sidang umum PBB menawarkan opsi yang membuat semua pihak, khususnya Palestina dan Israel, sama-sama "dimenangkan".

Pada pidato di sidang umum PBB itu Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan mengakui Israel hanya jika Israel mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Tawaran opsi yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam sidang umum PBB itu mungkin bertolak belakang dengan pandangan umumnya negara-negara yang selama ini membela Palestina.

Meskipun istilah ini tidak sepenuhnya tepat, sikap "politik belah bambu" dalam memandang konflik dua negara di Timur Tengah itu, umumnya mereka berusaha mengangkat Palestina dan saat bersamaan menginjak Israel.

Secara moral politik dan pandangan kemanusiaan, pilihan keberpihakan negara-negara itu kepada Palestina memang sangat manusiawi, bahkan idealis. Namun, secara realitas tidak banyak memberikan dampak apa-apa untuk mewujudkan keamanan dan persaudaraan di Yerusalem atau Al-Quds, kota suci bagi tiga agama Abrahamik, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi itu.

Pilihan negara-negara yang membela Palestina itu memang bertujuan untuk menekan pemimpin Israel agar segera menghentikan sikap politik agresifnya terhadap Palestina. Namun, fakta menunjukkan bahwa semakin ditekan, Pemerintah Israel bukannya tambah melunak. Israel justru semakin menunjukkan sikap agresif menyerang, bahkan hingga meluas, bukan hanya ke Palestina, tapi juga ke negara-negara sekitarnya, seperti Iran dan Qatar.

Dari sisi sejarah, Bangsa Israel memang pernah mengalami trauma ancaman ketika Jerman Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler membantai jutaan warga Yahudi. Peristiwa yang dikenal sebagai Holakus ini terjadi pada suasana Perang Dunia II.

Ini menjadi salah satu analisis bahwa secara genetik dan psikologis, keterancaman itu terus terbawa ke anak turun orang Yahudi. Hanya saja, karena peristiwa ini pulalah, maka orang Yahudi Israel kemudian memiliki semangat bertahan hidup yang luar biasa, yang kemudian membangkitkan daya juang mereka untuk menguasai perangkat teknologi sangat canggih.

Berdasarkan paradigma ini pula, maka menghadapi negara Israel tidak bisa hanya dengan meningkatkan tekanan, karena negara kecil secara luas wilayah itu, memiliki kekuatan pertahanan negara atau militer yang super canggih dan lengkap, apalagi dengan dukungan dari negara adidaya, Amerika Serikat.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan, jika Israel terus menerus ditekan oleh seluruh negara, senjata nuklir yang diduga dimiliki oleh negara itu akan dipergunakan untuk upaya mempertahankan diri, sehingga yang rugi bukan hanya Palestina, tapi juga seluruh dunia, karena terkena dampaknya.

Maka, menghadapi Israel, saat ini perlu mengubah paradigma baru, seperti yang ditawarkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam sidang umum PBB, yang sama sekali tidak ada poin ancaman. Indonesia justru membuka ruang damai untuk semua, bukan hanya untuk Palestina. Meskipun demikian, Prabowo tetap menunjukkan rasa empati mendalam terhadap penderitaan rakyat Palestina akibat gempuran tentara Israel yang terus menerus terjadi.

Di sisi lain, keberpihakan negara-negara lain terhadap Palestina semakin banyak. Meskipun demikian, tidak ada jaminan juga, misalnya, jika seluruh negara yang ada di PBB mengakui negara Palestina, kemudian sikap Israel akan berubah. Fakta itu, justru akan semakin menguak kemungkinan rasa terancam Israel semakin menguat, sehingga sangat mungkin pilihan sikap politiknya semakin agresif.

Membahas paradigma ini, kita jadi teringat dengan gagasan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah membuka opsi Indonesia ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Sebagai presiden yang sikap politiknya lebih membela kemanusiaan dan perdamaian atas Palestina, Gus Dur justru mewacanakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan Gus Dur yang sederhana, tapi mengejutkan banyak pihak itu adalah agar Indonesia bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel. Hal itu bisa dengan mudah terwujud hanya jika Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan kedua negara.

Tentu saja wacana yang disampaikan oleh Gus Dur itu mendapat kecaman dan penolakan, bahkan Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang pro-Israel.

Barangkali, gagasan Gus Dur, ketika itu, terlalu jauh ke depan, sementara Presiden Prabowo Subianto mengemukakanya dengan wacana lebih landai dan membawa harapan baru bagi semua. Meskipun demikian, gagasan dari Prabowo ini memerlukan waktu untuk meyakinkan Israel bahwa seluruh masyarakat dunia hanya menginginkan perdamaian, bukan untuk balas dendam.

Pernyataan Paus Leo XIV yang menunjukkan solidaritas Gereja Katolik dengan penderitaan yang dialami rakyat Gaza, juga bisa dialamatkan kepada seluruh negara dan rakyat yang selama ini memihak kepada Palestina. Paus mengatakan, "Tidak ada masa depan berlandaskan kekerasan, pengungsian paksa, atau pembalasan dendam".

Meskipun diksi pembalasan dendam itu ditujukan untuk membela penderitaan rakyat Palestina, barangkali imbauan itu juga bisa dialamatkan kepada negara-negara yang memihak pada perdamaian dunia, tidak memandang penyelesaian damai dua negara ini dengan motif dendam kepada Israel.

Kalau dalam konteks perseteruan personal antara dua orang, kita tidak membenci orang yang dianggap berbuat tidak baik kepada kita, tapi perilakuknya yang perlu diubah. Demikian juga dalam kita memandang negara Israel dan para pemimpinnya. Pesan inilah yang tersirat dalam pidata Prabowo di depan Sidang Umum PBB, dengan menegaskan akan mengakui Israel, jika Israel mengakui negara Palestina.

Tags:    

Similar News