Longsor dan banjir di musim hujan meningkat, alih fungsi lahan perparah risiko

Update: 2025-11-27 08:17 GMT

Kondisi jalan rusak di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, akhir November 2025

Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) BRIN, Dr. Adrin Tohari, menjelaskan bahwa meningkatnya kejadian gerakan tanah atau tanah longsor di Pulau Jawa dan Sumatera pada musim hujan saat ini terutama dipicu oleh faktor hidrometeorologi dan kondisi geologi. Penjelasan tersebut disampaikan dalam wawancara di Radio Elshinta Edisi Pagi, Kamis (27/11/2025).

Menurut Adrin, hujan ekstrem yang terjadi belakangan ini membuat tanah-tanah hasil pelapukan gunung api muda menjadi sangat rentan longsor. Tanah jenis tersebut cenderung gembur dan mudah jenuh air, sehingga air hujan dengan cepat meresap dan melemahkan kestabilannya.

“Ketika musim hujan seperti ini, potensi longsor meningkat terutama di kawasan perbukitan Jawa dan Sumatra. Siklon juga menjadi pemicu hujan berintensitas tinggi dan memunculkan risiko banjir bandang di beberapa wilayah,” jelasnya kepada News Anchor Telni Rsumitantri.

Selain faktor cuaca, Adrin menekankan bahwa perubahan tutupan lahan berkontribusi besar terhadap kerentanan tanah. Hilangnya pepohonan besar dan bergantinya fungsi lahan menjadi perkebunan, pertanian, atau bahkan lahan terbuka membuat air hujan lebih mudah masuk ke dalam tanah dan menyebabkan kejenuhan.

“Tutupan lahan itu sangat penting. Jika hutan diganti dengan kebun atau lahan terbuka, air hujan akan cepat meresap dan tanah menjadi jenuh. Di lereng-lereng terjal, kondisi ini sangat berbahaya bagi permukiman,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan pendengar, Adrin menegaskan bahwa edukasi publik mengenai tempat tinggal di kawasan rawan bencana harus diperkuat. Masyarakat perlu memahami tanda-tanda bahaya ketika terjadi hujan lebat dan dianjurkan untuk mengungsi lebih awal.

Jika masyarakat tidak dapat pindah dari wilayah rawan, Pemerintah biak Tingkat pusat atau daerah, wajib menyediakan langkah mitigasi, seperti sistem peringatan dini dan pengetatan regulasi tata guna lahan.

“Pemerintah Daerah perlu memperkuat aturan. Jangan memberikan izin pembangunan permukiman di perbukitan yang jelas-jelas berisiko. Banyak kasus longsor terjadi di kawasan permukiman di lereng,” kata Adrin.

Menanggapi pertanyaan mengenai banjir di wilayah persawahan, Adrin menjelaskan bahwa tanah lempung pada lahan sawah memang memiliki kemampuan rendah dalam menyerap air. Pada saat hujan deras, air akan langsung naik ke permukaan.

“Tanah lempung itu tidak mampu meloloskan air. Daerah bekas persawahan yang diubah menjadi permukiman pasti rawan banjir. Solusinya harus memperbanyak saluran irigasi agar air cepat dialirkan,” tegasnya.

Lantas benarkah operasi modifikasi cuaca dinilai hanya berfokus pada Jakarta? Adrin menerangkan bahwa teknologi tersebut tidak bisa diterapkan pada cuaca ekstrem seperti siklon.

“Modifikasi cuaca hanya efektif untuk kondisi cuaca normal atau mendung yang bisa direkayasa. Siklon adalah fenomena ekstrem yang tidak mungkin dimodifikasi,” jelasnya.

Namun, ia menilai modifikasi cuaca memang semestinya dipertimbangkan juga di wilayah selain Jakarta, dengan catatan tidak berada dalam sistem cuaca ekstrem.

Adrin juga menilai koordinasi lintas lembaga sangat penting. Peta kerentanan longsor sudah tersedia dan dapat digunakan untuk mengantisipasi risiko di daerah masing-masing. Pemerintah Daerah didorong menginventarisasi titik rawan, terutama sebelum cuaca ekstrem terjadi.

Di samping itu, masih ada pendapat yang mempertanyakan tentang food estate yang mengubah hutan menjadi lahan terbuka. Adrin menegaskan bahwa perubahan tata guna lahan skala besar pasti berdampak pada meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi.

“Ketika hutan diubah menjadi lahan pertanian terbuka, daya serap tanah berubah. Risiko bencana pasti meningkat. Dalam jangka panjang fenomenanya akan muncul satu per satu,” tandasnya.

Dr. Adrin menutup perbincangan Kamis pagi dengan imbauan agar masyarakat dan Pemerintah bersama-sama menjaga keseimbangan alam. Tanpa menjaga ekosistem dan tata guna lahan, menurutnya, risiko longsor dan banjir tidak akan pernah menurun.

Penulis: Dwi Iswanto/Ter

Similar News