Memperjuangkan harapan pada robohnya mushalla Ponpes Al Khoziny

Sore menjelang malam di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, udara lembap menggantung di antara serpihan beton dan debu material. Lampu sorot menembus gelap, memantul di dinding bangunan mushalla Pondok Pesantren atau Ponpes Al Khoziny yang roboh. Suara alat berat, gesekan besi, dan dengung generator menjadi latar malam yang muram.

Update: 2025-10-07 16:40 GMT

Sumber foto: Antara/elshinta.com.

Sore menjelang malam di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, udara lembap menggantung di antara serpihan beton dan debu material. Lampu sorot menembus gelap, memantul di dinding bangunan mushalla Pondok Pesantren atau Ponpes Al Khoziny yang roboh. Suara alat berat, gesekan besi, dan dengung generator menjadi latar malam yang muram.

Beberapa petugas berseragam oranye membungkuk, mengais celah di antara puing di ponpes tersebut. Setiap ayunan palu adalah langkah kecil menembus waktu dan doa.

Dalam keheningan di ponpes itu, hanya terdengar desah napas dan seruan singkat sesama petugas. Mereka hadir sebagai representasi negara dan bekerja tanpa banyak bicara, seolah tahu bahwa di bawah tumpukan beton itu, ada harapan yang belum padam.

Di balik reruntuhan mushalla itu, tersimpan sejarah panjang yang membuat ponpes ini lebih dari sekadar bangunan. Al Khoziny adalah salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia.

Didirikan pada 1920 oleh KH Khozin, menantu pengasuh Ponpes Siwalan Panji KH Chamdani, pesantren ini telah menjadi bagian penting dari sejarah Islam di Jawa Timur, jauh sebelum republik ini berdiri.

Hubungan Ponpes Al Khoziny dan Siwalan Panji, Sidoarjo, begitu erat. Sejumlah muassis atau pendiri Nahdlatul Ulama (NU), seperti KHM Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah pernah menimba ilmu di pesantren itu. Karena itu, jejaring keilmuan Al Khoziny menyebar luas, hingga ke Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, bahkan Malaysia.

Kini, halaman ponpes yang biasanya ramai suara santri, justru dipenuhi anggota tim SAR gabungan, alat berat, dan tumpukan batu yang menjadi saksi duka mendalam.

Beberapa jam sebelum mushalla di ponpes itu rata dengan tanah, suasana sore masih berjalan biasa. Di lantai dasar, puluhan santri tengah menunaikan shalat Asar berjamaah.

Salah satunya adalah M Zaenal Ali Abidin, santri kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA) berusia 18 tahun yang telah enam tahun menimba ilmu di Ponpes Al Khoziny. Ia berdiri di barisan kanan, ikut menundukkan kepala di rakaat kedua, ketika suara keras tiba-tiba memecah keheningan.

Zaenal mengira suara itu berasal dari sisa coran semen jatuh, hal yang kadang memang terjadi di sekitar ponpes karena sedang ada pembangunan.

Sekejap kemudian, kepanikan meledak di ponpes itu. Santri berhamburan, sebagian menjerit, sebagian lain tersandung reruntuhan. Zaenal sempat merasa ada batu menimpa kakinya sebelum kesadarannya hilang.

Ketika siuman, ia sudah berada di dalam ambulans. Dari para perawat dan teman-temannya, ia tahu bahwa bangunan mushalla tempat mereka shalat di ponpes baru saja roboh.

Luka di kakinya cukup parah, dan dokter menyebut ia mengalami gegar otak ringan. Meski masih merasa pusing dan nyeri di pinggang, ia bersyukur karena banyak temannya di ponpes itu tidak seberuntung dirinya.

Doa panjang

Di lokasi kejadian, tim SAR gabungan terus berjibaku mengais puing reruntuhan muhsalla ponpes. Pencarian dilakukan selama 24 jam, tanpa henti. Struktur bangunan yang rapuh membuat setiap langkah harus penuh perhitungan. Mereka kerap berhenti karena terjadi pergeseran puing yang berisiko menimbun kembali area pencarian.

Salah satu petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Surabaya Khusnul Ashadi menuturkan bahwa keterlibatannya dalam tugas di ponpes itu bukan semata tugas, melainkan panggilan hati.

Dalam satu momen, ia bersama tim SAR gabungan lainnya, bahkan harus mundur cepat setelah sebagian material bangunan di ponpes itu bergeser akibat gempa berskala 6,5 Magnitudo yang episentrumnya di Sumenep pada Selasa (29/9).

Rasa panik sempat muncul, tetapi disiplin dan doa membuat mereka bertahan. Dalam situasi penuh tekanan itu, Ashadi menahan emosi, saat menemukan korban yang masih anak-anak di ponpes itu.

Di antara mereka, seorang santri ponpes bernama Haikal berhasil ditemukan hidup, setelah suaranya terdengar lemah dari balik celah sempit puing. Petugas menggali perlahan, dan ketika tubuh kecil itu akhirnya berhasil diangkat keluar, sorak haru memecah malam.

Di titik berbeda, jasad santri lain ditemukan tak bernyawa di ponpes itu. Bagi para petugas, momen itu menjadi pertemuan antara keajaiban dan kehilangan. Setiap jenazah diangkat dengan penuh hormat, dibungkus dan diusung perlahan, seolah memastikan mereka pulang ke Haribaan Allah dengan layak.

Di antara mereka yang selamat pada detik-detik terakhir adalah Saiful Rosy Abdillah. Santri muda di ponpes itu ditemukan menjelang habisnya masa emas. Kakinya terjepit beton besar hingga hancur dan akhirnya harus diamputasi.

Sang ayah, Idris, mengaku sempat pasrah dan hanya bisa mengajak istrinya berdoa karena melihat kondisi bangunan di ponpes yang roboh, ia meyakini kemungkinan anaknya selamat sangat kecil.

Mukjizat datang, ketika kabar beredar di lokasi tenda ponpes itu menyebut bahwa Rosy masih hidup. Idris mengaku sempat tidak percaya dan merasa haru atas kenyataan tersebut. Kini, putranya dalam masa pemulihan dan mulai menyesuaikan diri dengan kondisi baru.

Meski kehilangan satu kaki, semangatnya tidak luntur dan ia bertekad untuk tetap melanjutkan menimba ilmu di Ponpes Al Khoziny. Idris juga menegaskan tidak akan menuntut pihak mana pun karena meyakini peristiwa itu sebagai takdir Allah SWT.

Sementara di luar area ponpes, keluarga korban bertahan di Posko SAR gabungan. Ada yang duduk diam menatap layar televisi yang menyiarkan langsung dari kamera CCTV, saat proses pencarian, ada yang berdoa, dan ada yang hanya menunduk, tanpa kata.

Seorang kakek bernama Saidi berdiri di depan layar di sekitar tenda ponpes itu. Cucu lelakinya, Muhammad Adam Virdiansyah, santri berusia 13 tahun, pada hari kelima belum ditemukan. Sejak hari pertama, ia tidak beranjak dari lokasi, tidur di tikar, makan dari dapur umum, dan setiap waktu menunggu laporan terbaru dari petugas.

Baginya, meninggalkan tempat di ponpes itu sama dengan meninggalkan harapan. Ia hanya berdoa agar cucunya ditemukan, dalam keadaan apa pun.

Para relawan dan petugas dari dinas sosial mencoba memberi semangat, tapi wajah-wajah di posko di ponpes itu tetap muram. Bagi mereka, menunggu adalah pekerjaan paling berat.

Di tengah kelelahan, warga sekitar ponpes datang membawa air, nasi bungkus, kopi, teh, buah, atau sekadar kata penghiburan. Empati tumbuh di tengah duka yang sama. Empati merupakan kekayaan budaya luhur bangsa ini yang berangkat dari nilai gotong royong.

Sementara itu, di area reruntuhan ponpes, suara alat berat masih terdengar, hingga dini hari. Petugas terus bekerja dalam cahaya lampu sorot, kadang berhenti sejenak untuk menarik napas sambil menatap ke arah tenda keluarga korban yang tak jauh dari lokasi. Dari tenda itulah sumber alasan mereka bertahan untuk bekerja, memberi kepastian bagi keluarga yang menunggu kepastian.

Tragedi di ponpes itu memang meninggalkan luka mendalam, tapi juga menyingkap wajah kemanusiaan yang paling tulus.

Dari reruntuhan Ponpes Al Khoziny, orang-orang belajar bahwa kerja keras, doa, dan kepedulian bisa berjalan berdampingan. Para petugas terus menggali, keluarga terus menunggu, dan seluruh warga berdoa agar semua yang hilang dapat ditemukan.

Di tengah keheningan yang panjang, suara Khusnul Ashadi masih terngiang di antara debu dan puing reruntuhan Ponpes Al Khoziny.

"Mereka yang hilang harus ditemukan, karena setiap kehilangan menyisakan luka yang hanya bisa sembuh dengan kepastian," ujar Ashadi.

Kerja para petugas yang merupakan wujud negara hadir menyauti permasalahan warga itu bekerja dengan profesional, sambil terus harus berdamai dengan perasaannya sebagai manusia yang juga memiliki keluarga dan anak.

Tags:    

Similar News