29 Oktober 2018: Lion Air jatuh di Laut Karawang, 189 penumpang tewas
Pagi 29 Oktober 2018 diwarnai kabar mengagetkan. Pesawat Lion Air PK-LQP jatuh di Laut Jawa sebelah utara Karawang, Jawa Barat.\r\n
Elshinta.com - Pagi 29 Oktober 2018 diwarnai kabar mengagetkan. Pesawat Lion Air PK-LQP jatuh di Laut Jawa sebelah utara Karawang, Jawa Barat.
Pilot Bhavye Suneja dan kopilot Harvino membawa pesawat bernomor penerbangan JT 610 itu dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.
Pesawat lepas landas pada pukul 06.20 WIB dan membawa 189 manusia, termasuk pilot, kopilot, lima pramugari, dan para penumpang. Di antara para penumpang, ada 20 orang pegawai Kementerian Keuangan, enam anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung, tiga jaksa, dan seorang staf tata usaha Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung. Ada pula bapak-anak, suporter sepakbola, dan orang-orang yang sangat dicintai keluarganya di dalam pesawat.
Pukul 06.22 WIB, pesawat menginformasikan ada masalah kontrol pesawat (flight control).
Pesawat ini sempat meminta balik lagi ke bandara semula alias return to base. Lembaga pelayanan navigasi penerbangan AirNav membukakan jalan. Namun, pada pukul 06.32 WIB, pesawat itu hilang kontak di perairan Karawang.
"Betul bahwa pesawat Lion JT 610 mengalami lost contact. Kami telah meneruskan informasi kepada tim SAR," kata Humas Airnav Indonesia, Yohanes Sirait, kepada detikcom, Senin (29/10/2018).
Pesawat itu hilang kontak dan jatuh dari ketinggian 3.000 kaki di perairan Karawang.
Badan SAR Nasional (Basarnas) meluncur ke perairan Karawang begitu tahu ada pesawat jatuh di kawasan itu. Tiga kapal dan 1 helikopter dikerahkan.
Sekitar pukul 09.40 WIB, Basarnas menginformasikan telah memastikan lokasi jatuhnya pesawat. Burung besi nahas itu jatuh di kedalaman dasar laut sekitar 30-35 meter.
Saat lokasi jatuhnya pesawat disambangi untuk pertama kali, yang ditemui adalah serpihan-serpihan di permukaan.
Selanjutnya, tiga helikopter dan empat kapal milik Polri dikerahkan untuk membantu pencarian. Puluhan nelayan Karawang membantu pencarian. Di darat, puluhan ambulans disiagakan.
Mulai hari pertama ini, Basarnas menetapkan waktu pencarian selama tujuh hari.
"Kita melakukan upaya terbaik untuk menemukan dan menyelamatkan korban dan semoga korban segera ditemukan. Saya merasakan kegelisahan yang mendalam dari semua keluarga korban, namun kita berharap keluarga korban bisa tenang menunggu tim SAR yang bekerja keras di lokasi kejadian," kata Presiden Jokowi di BNDCC, Nusa Dua, Bali, hari itu.
Kantong-kantong jenazah diangkat membawa bagian-bagian tubuh korban, dibawa ke Pelabuhan Tanjung Priok dan diteruskan ke RS Polri Kramat Jati.
"Prediksi saya itu sudah tidak ada yang selamat. Karena korban yang ditemukan saja beberapa potongan tubuh saja sudah tidak utuh," kata Dirops Pencarian dan Pertolongan Basarnas Brigjen Marinir Bambang Suryo Aji di kantornya, Kemayoran, Jakarta Pusat, di hari pertama pencarian, sore hari. Basarnas menggelar pencarian 24 jam.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengerahkan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya I. Kapal ini punya alat untuk mencari kotak hitam, baik CVR (cockpit voice recorder) maupun FDR (flight data recorder).
Ada Multi Beam Echo Sounder yang berfungsi melakukan pemetaan biometri dalam laut. Kedua adalah Side Scan Sonar. Prinsip alat ini serupa dengan Multi Beam Echo Sonar, namun memiliki jangkauan dan berfungsi untuk melakukan pemetaan yang lebih tajam. Ketiga adalah Megato Meter atau alat deteksi logam.
Keempat adalah Remote Operated Vehicle (ROV). Alat ini berupa kendaraan bawah laut yang dikendalikan dari jarak jauh, untuk menampilkan gambar video secara langsung dari dasar laut. Dengan alat ini, pencarian sebuah objek di dasar laut akan lebih cepat dilakukan.
Pada 30 Oktober, pencarian diperluas hingga ke Indramayu karena arus air laut bergerak ke timur. Sebanyak 854 personel gabungan dari Basarnas, TNI/Polri, dan sukarelawan masyarakat yang dikerahkan dari Posko Pantai Tanjungpakis, Karawang.